Monday, 9 June 2014

Haram Memilih Pemimpin Non-Muslim


Dr Daud Rasyid Lc MA

Pemilu 2014 kali ini bakal diwarnai dengan persaingan yang cukup ketat. Untuk meraup suara sebanyak-banyaknya, sejumlah calon dari politisi, akademisi, ustadz dan artis dipasang. Janji-janji program pro rakyat mulai bermunculan di spanduk, baliho, dan iklan di media nasional.
Setidaknya, kepemimpinan sebelumnya menjadi cermin untuk menentukan pilihan tahun ini. Rakyat jangan tertipu janji-janji kampanye caleg dan capres yang justru tersangkut kasus korupsi. Di tengah kondisi seperti ini masihkah ada calon pemimpin yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat?
Menyikapi hal ini, Daud Rasyid menegaskan, masyarakat jangan mau digiring opini media untuk memilih pemimpin berdasarkan kepopulerannya saja. “Boleh saja seorang pemimpin itu kaya, bahkan barangkali itu lebih baik agar ia tidak mengharapkan dari jabatannya,” ujar Doktor jebolan Universitas Kairo ini.
Daud menegaskan, rakyat tidak boleh apatis memilih pemimpin karena kepemimpinan adalah urusan yang sangat besar bagi umat dan bangsa. Setidaknya ada kriteria yang harus dimiliki calon pemimpin. Seperti apa kriteria itu? Berikut wawancara wartawan Majalah Gontor, Ahmad Muhajir, dengan pria yang pernah berdakwah melalui jalur politik di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Pada pemilu 2014 banyak muncul caleg dari berbagai latar belakang, baik politisi, akademisi, ustadz dan artis. Bagaimana menurut Anda?

Memilih pemimpin memang harus dipilah-pilah. Ada kriteria umum pemimpin dalam Islam, tapi bisa saja akan lebih khusus kalau yang dipilih itu untuk jabatan tertentu. Secara umum, baik presiden maupun anggota DPR, syarat pertama Muslim. Ini tidak bisa diotak-atik sebagaimana dijelaskan dalam surah an-Nisa, al-Maidah, atau Ali Imran.
Intinya, haram bagi seorang Muslim memilih pemimpin dari kalangan orang-orang non-Muslim. Itu nas yang Qat’i dan kesepakatan para ulama. Dalam konteks Indonesia, inilah yang perlu dijelaskan kepada masyarakat bahwa mereka tidak boleh memilih pemimpin dari kalangan non-Muslim. Secara otomatis, partai yang membuka pintu untuk calon anggota DPR dari kalangan non-Muslim tidak boleh dipilih oleh seorang Muslim.
Jadi, seorang Muslim hanya memilih partai-partai Islam karena hanya partai Islamlah yang menampilkan calon-calon pemimpin yang Muslim. Sekarang ini masyarakat mulai digiring untuk memiliki persepsi jangan tanya agamanya, tapi lihat orangnya. Dalam Islam, ini tidak benar. Seorang Muslim hanya boleh dipimpin seorang Muslim. Ini yang harus betul-betul disosialisasikan.

Apa kriteria caleg/pemimpin yang baik?

Syarat pertama harus Muslim. Kedua memiliki pemahaman tentang Islam. Calon pemimpin yang akan datang itu harus memiliki pengetahuan Islam yang memadai sehingga ia tahu apa yang wajib bagi dirinya, apa yang diharamkan baginya, dan ke mana umat akan dibawanya. Kalau boleh disebut ada unsur ulamanya.
Ketiga, punya kemampuan untuk memimpin, barangkali sebelum-sebelumnya ia punya pengalaman. Kalau tidak punya pengalaman, meski ia punya ilmu kepemimpinan, bisa saja akan gagal memimpin. Keempat, amanah. Amanah ini diukur dari track record-nya seperti apa. Apakah ia orang-orang yang memiliki kasus dalam jabatan-jabatan sebelumnya.
Harta kekayaannya juga dilihat, asal usul kekayaannya. Boleh saja seorang pemimpin itu kaya, bahkan barangkali itu lebih baik agar ia tidak mengharapkan dari jabatannya. Tapi hasil kekayaannya itu dari jalur yang halal. Ia seorang pebisnis atau pedagang, punya pengetahuan dan bakat kepemimpinan. Tidak dilarang pebisnis menjadi penguasa.

Jika memilih pemimpin berdasarkan kepopulerannya saja, apakah cara seperti ini akan berhasil melahirkan pemimpin terbaik dan memperjuangkan aspirasi rakyat?

Siapa yang selama ini menjalankan pendidikan politik? Inilah yang menjadi pertanyaan kita. Sekarang ini, medialah yang banyak mengajari masyarakat berpolitik. Media ukurannya adalah popularitas, sementara orang-orang yang memiliki komitmen keagamaan tidak begitu populer.
Padahal, orang yang populer di media itu tidak terlalu fanatik terhadap agama. Bahkan, media ini lebih mendukung jika pemimpin itu seorang yang berpaham liberal. Jadi, sudah semestinya ada media lain yang bisa memopulerkan pemimpin-pemimpin yang tidak populer di kalangan media elektronik.

Apa dampaknya jika masyarakat hanya belajar dari media, tidak belajar dari ajaran Islam dari para ulama tentang politik yang bermoral dan bermartabat?

Hasilnya seperti yang terjadi sekarang ini. Berantakan karena didasarkan pada popularitas, dan masyarakat tidak mau belajar. Media ini sendiri bisa saja dikendalikan oleh pemilik modal atau kekuatan lain. Sekiranya ini tidak berubah akan lebih berbahaya lagi. Dan untuk mengubah memang tidak mudah karena harus menjangkau masyarakat yang luas. Itu tidak mudah harus lewat televisi juga. Siapa yang menguasai televisi kita?
Maka salah satu yang bisa menjadi media umat adalah masjid melalui khutbah Jumat dan lain sebagainya. Paling tidak khutbah Jumat karena di situlah umat Islam berkumpul. Sementara kadang ada masjid yang menolak untuk membicarakan soal politik. Ini juga menjadi kendala.

Karena bisa menjadikan masjid sebagai tempat berkampanye?

Boleh saja berbicara politik di masjid, bukan kampanye, tapi mengarahkan umat pada politik Islam. Politik Islam itu politik berkeadilan dan menanamkan moral berpolitik. Namun untuk sampai memopulerkan seseorang, itu jangan di masjid. Secara tidak langsung saja. Masjid jangan sampai ada larangan membicarakan soal politik.

Sejauh ini apakah praktik politik di Indonesia belum sesuai dengan politik bermoral sesuai dengan ajaran Islam?

Sebetulnya pascareformasi kemarin adalah masa yang tepat untuk mengubah Indonesia. Tetapi mungkin karena lemahnya, tidak ada tim khusus politik Islam, sehingga berjalan tanpa arah. Padahal, kesempatan untuk menggolkan syariat Islam itu cukup besar. Andai saja pemimpin-pemimpin kemarin itu punya semangat bersama-sama untuk menegakkan syariat Islam itu menjadi kesempatan.
Apalagi umat sangat merindukan politik alternatif. Sekali lagi, entah karena ada yang menyetir perpolitikan di Indonesia, Amerika dengan segala kekuatannya menyetir perpolitikan sehingga tidak populer syariat Islam dan hal-hal yang berbau agama. Ditambah lagi skenario itu membunuh karakter pemimpin yang membawa nama Islam atau partai Islam.
Saya melihat apa yang ada saat ini bentuknya jebakan-jebakan. Amerika lewat tangan pengusaha non-Muslim di Indonesia ini sudah tahu watak orang Indonesia. Mereka menyediakan umpan-umpan. Politisi itu tetap manusia. Kebanyakan tak tahan sehingga terjebak umpan itu dan sekarang yang sedang berlangsung.

Dulu Anda pernah aktif di salah satu partai, sekarang tidak aktif lagi. Apakah karena merasakan ada kegagalan berdakwah melalui jalur politik?

Ini lebih kepada pilihan personal. Kalau kita melihat harapannya sudah mulai jauh dari tujuan, lebih bagus cari alternatif bidang lain yang tidak terikat partai tertentu. Kita tetap menyuarakan politik Islam tanpa terikat partai politik tertentu. Saya tetap berbicara tentang politik di berbagai tempat dan mungkin diterima oleh politisi lain.
Kecenderungan partai Islam ini dijebak kekuatan tertentu, namun tidak sadar kalau dirinya dijebak agar lepas dari paradigma keislamannya. Inilah yang diinginkan musuh-musuh Islam. Jika partai Islam sudah mulai lepas dari kerangka keislamannya, masyarakat tidak akan simpatik lagi. Berjuang untuk apa. Sementara mereka mengira sikap seperti inilah yang dianggap akan mempercepat memperoleh kekuasaan.

Menurut Anda isu apa yang harus tetap diperjuangkan para pemimpin ke depan?

Pemimpin yang bercita-cita menjalankan syariat Islam itu yang tetap harus digaungkan, meski kelihatannya jauh. Sekali lagi, media bisa membentuk opini publik, isu apa yang menarik. Kalau orang bicara tentang agama dianggap tidak menarik, kalau bicara tentang korupsi, kesejahteraan sosial ini yang lebih mengemuka.
Padahal, Islam lebih komprehensif dalam konsep mengatasi kemiskinan, membangun pemerintahan yang bersih, penyediaan lapangan kerja, perbaikan sektor bisnis, pendidikan dan sebagainya. Semuanya ada dalam Islam, hanya saja, umat ini perlu dididik berpedoman kepada agamanya. Konsep itu bisa datang dari mana saja, harusnya seorang Muslim tidak mau mendengar kalau bukan datang dari Islam.

Apakah Anda melihat kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan di negeri ini lebih kecil jika dibanding pascareformasi?

Tahun 2014 ini pertarungan yang cukup sengit karena di sana kekuatan non-Muslim habis-habisan. Mereka bisa masuk melalui seorang tokoh yang secara formal KTP-nya Muslim, tapi di belakangnya non-Muslim. Kansnya untuk menang cukup tinggi. Mereka juga memberikan pilihan lain pasangan Muslim dan non-Muslim. Sama berbahayanya. Soal popularitas ini 90 persen ditentukan media. Jadi, tugas kita mendidik masyarakat untuk memilih bukan berdasarkan popularitas, tapi memilih berdasarkan keyakinan dan ajaran.

Harapan Anda di tahun 2014 ini, di tengah krisis multidimensi ini?

Pertama, pemimpin-pemimpin Islam ini tidak terlalu egois untuk maju dengan bajunya sendiri-sendiri. Dulu ada poros tengah, sekarang harusnya muncul yang mirip seperti itu untuk melawan arus yang mengarahkan rakyat kepada sikap apatis dan yang memilih tanpa berdasarkan tuntunan agama. Orang-orang yang apatis sudah cukup banyak di kita.
Ada kasus-kasus terungkap melibatkan tokoh-tokoh partai Islam, yang memang masyarakat tidak pernah berpikir mengapa hal ini terjadi. Mereka inginnya sederhana, dianggap tidak bagus ya sudah ditinggalkan saja. Sementara pilihan lainnya jauh lebih buruk dari yang ada di tengah-tengah kaum Muslimin.

Bagaimana pemilih menyikapi calon pemimpin yang disebut terlibat dalam kasus korupsi?

Di negeri seperti ini tidak bisa hitam putih soal korupsi. Sistemnya sendiri sudah rusak. Siapa pun yang masuk ke situ sangat berisiko. Maka jangan mengharapkan kriteria ideal maunya orang yang bersih sekali, memiliki pengalaman memimpin, visioner dan pemahaman agamanya bagus, itu tidak akan ketemu.

Bukankah hal ini akan memicu ancaman golput yang tinggi di Indonesia?

Kita tidak boleh apatis dan putus asa karena itu tidak diajarkan dalam Islam. Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak punya kepentingan terhadap urusan kaum Muslimin. Kepemimpinan adalah urusan yang sangat besar bagi umat dan bangsa.
Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk bersikap golput. Ini sikap pengecut, sikap yang tidak dianjurkan dalam Islam. Jika umat Islam yang mayoritas ini tidak ikut dalam pemilihan kepemimpinan, maka yang diuntungkan adalah orang-orang di luar Islam. Seperti apapun orang yang akan muncul nantinya kita harus punya andil.
Prinsipnya, mengacu pada al-Quran, wahai orang-orang yang beriman jangan memilih pemimpin dari kamu, Yahudi dan Nasrani. Sebagian mereka ini kerjasama satu sama lain. Barangsiapa di antara kamu yang mengangkat mereka sebagai pemimpin dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah sangat membenci kaum yang zalim. Ayat ini sudah jelas siapa yang harus dipilih dan siapa yang tidak boleh dipilih.



BIODATA

Nama : Dr. Daud Rasyid Setorus, Lc., MA
TTL : Tanjung Balai, 3 Desember 1962
Aktivitas : Ceramah, seminar, kajian ilmiah dan menulis

Pekerjaan
Staf pengajar Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Staf pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung.
Pimpinan Boarding School “Al-Makmuriyah” Sukabumi.

Pendidikan
Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, Medan (1980-1983).
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Medan (1981-1983).
Fakultas Syari’ah wal-Qanun (Syariah dan Hukum) Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1984-1987).
Program Pascasarjana (S2) Fakultas Darul ‘Ulum (Studi Islam dan Arab) Universitas Kairo, jurusan “Syariah” (1987-1990).
Program Doktor (S3) di Fakultas Darul ‘Ulum, Universitas Kairo (1994-1996).

Karya Ilmiah
Marwiyyat al-Hakam ibn Utaibah wa Fiqhuhu (tesis MA), 1990.
Juhud Ulama` Indonesia fi as-Sunnah (disertasi doktor), 1996.
Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Usamah Press, 1993.
Bank Tanpa Bunga, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Usamah Press, 1991 (terjemahan).
Syariat Islam Hukum Yang Abadi, Prof Abdullah Nashih Ulwan, Usamah Press, 1992 (terjemahan).
Metode Riset Islami, Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Usamah Press, 1992 (terjemahan).
Prioritas Gerakan Islam, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Usamah Press, 1993 (terjemahan).
Islam Dalam Berbagai Dimensi, terbitan Gema Insani Press, Jakarta, 1998.

Sumber Artikel

No comments:

Post a Comment