Friday, 24 June 2011

isro' dan mi'roj nabi muhammad saw


Diterjemahkan dengan ringkas dari Kitab Al Anwaarul Bahiyyah Min Israa’ Wa Mi’raaj Khoiril Bariyyah
Karya Al Imam Al Muhaddits As Sayyid Muhammad bin Alawy Al Hasany RA.
Pada suatu malam Nabi Muhammad SAW berada di Hijir Ismail dekat Ka’bah al Musyarrofah, saat itu beliau berbaring diantara paman beliau, Sayyiduna Hamzah dan sepupu beliau, Sayyiduna Jakfar bin Abi Thalib, tiba-tiba Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil menghampiri beliau lalu membawa beliau ke arah sumur zamzam, setibanya di sana kemudian mereka merebahkan tubuh Rasulullah untuk dibelah dada beliau oleh Jibril AS.
Dalam riwayat lain disebutkan suatu malam terbuka atap rumah Beliau saw, kemudian turun Jibril AS, lalu Jibril membelah dada beliau yang mulya sampai di bawah perut beliau, lalu Jibril berkata kepada Mikail:
“Datangkan kepadaku nampan dengan air zam-zam agar aku bersihkan hatinya dan aku lapangkan dadanya”.
Dan perlu diketahui bahwa penyucian ini bukan berarti hati Nabi kotor, tidak, justru Nabi sudah diciptakan oleh Allah dengan hati yang paling suci dan mulya, hal ini tidak lain untuk menambah kebersihan diatas kebersihan, kesucian diatas kesucian, dan untuk lebih memantapkan dan menguatkan hati beliau, karena akan melakukan suatu perjalanan maha dahsyat dan penuh hikmah serta sebagai kesiapan untuk berjumpa dengan Allah SWT.
Kemudian Jibril AS mengeluarkan hati beliau yang mulya lalu menyucinya tiga kali, kemudian didatangkan satu nampan emas dipenuhi hikmah dan keimanan, kemudian dituangkan ke dalam hati beliau, maka penuhlah hati itu dengan kesabaran, keyakinan, ilmu dan kepasrahan penuh kepada Allah, lalu ditutup kembali oleh Jibril AS.
Setelah itu disiapkan untuk Baginda Rasulullah binatang Buroq lengkap dengan pelana dan kendalinya, binatang ini berwarna putih, lebih besar dari himar lebih rendah dari baghal, dia letakkan telapak kakinya sejauh pandangan matanya, panjang kedua telinganya, jika turun dia mengangkat kedua kaki depannya, diciptakan dengan dua sayap pada sisi pahanya untuk membantu kecepatannya.
Saat hendak menaikinya, Nabi Muhammad merasa kesulitan, maka meletakkan tangannya pada wajah buroq sembari berkata:“Wahai buroq, tidakkah kamu merasa malu, demi Allah tidak ada Makhluk Allah yang menaikimu yang lebih mulya daripada dia (Rasulullah)”, mendengar ini buroq merasa malu sehingga sekujur tubuhnya berkeringat, setelah tenang, naiklah Rasulullah keatas punggungnya, dan sebelum beliau banyak Anbiya’ yang menaiki buroq ini.
Dalam perjalanan, Jibril menemani disebelah kanan beliau, sedangkan Mikail di sebelah kiri, menurut riwayat Ibnu Sa’ad, Jibril memegang sanggurdi pelana buroq, sedang Mikail memegang tali kendali.
(Mereka terus melaju, mengarungi alam Allah SWT yang penuh keajaiban dan hikmah dengan Inayah dan RahmatNya), di tengah perjalanan mereka berhenti di suatu tempat yang dipenuhi pohon kurma, lantas malaikat Jibril berkata: “Turunlah disini dan sholatlah”, setelah Beliau sholat, Jibril berkata: “Tahukah anda di mana Anda sholat?”, “Tidak”, jawab beliau, Jibril berkata:“Anda telah sholat di Thoybah (Nama lain dari Madinah) dan kesana anda akan berhijrah”.
Kemudian buroq berangkat kembali melanjutkan perjalanan, secepat kilat dia melangkahkan kakinya sejauh pandangan matanya, tiba-tiba Jibril berseru: “berhentilah dan turunlah anda serta sholatlah di tempat ini!”, setelah sholat dan kembali ke atas buroq, Jibril memberitahukan bahwa beliau sholat di Madyan, di sisi pohon dimana dahulu Musa bernaung dibawahnya dan beristirahat saat dikejar-kejar tentara Firaun.
Dalam perjalanan selanjutnya Nabi Muhammad turun di Thur Sina’, sebuah lembah di Syam, tempat dimana Nabi Musa berbicara dengan Allah SWT, beliau pun sholat di tempat itu. Kemudian beliau sampai di suatu daerah yang tampak kepada beliau istana-istana Syam, beliau turun dan sholat disana. Kemudian Jibril memberitahukan kepada beliau dengan berkata: “Anda telah sholat di Bait Lahm (Betlehem, Baitul Maqdis), tempat dilahirkan Nabi Isa bin Maryam”.
Setelah melanjutkan perjalanan, tiba-tiba beliau melihat Ifrit dari bangsa Jin yang mengejar beliau dengan semburan api, setiap Nabi menoleh beliau melihat Ifrit itu. Kemudian Jibril berkata: “Tidakkah aku ajarkan kepada anda beberapa kalimat, jika anda baca maka akan memadamkan apinya dan terbalik kepada wajahnya lalu dia binasa?”
Kemudian Jibril AS memberitahukan doa tersebut kepada Rasulullah. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan sampai akhirnya bertemu dengan suatu kaum yang menanam benih pada hari itu dan langsung tumbuh besar dan dipanen hari itu juga, setiap kali dipanen kembali seperti awalnya dan begitu seterusnya, melihat keanehan ini Beliau SAW bertanya: “Wahai Jibril, siapakah mereka itu?”, Jibril menjawab:” mereka adalah para Mujahid fi sabilillah, orang yang mati syahid di jalan Allah, kebaikan mereka dilipatgandakan sampai 700 kali.
Kemudian beberapa saat kemudian beliau mencium bau wangi semerbak, beliau bertanya: “Wahai Jibril bau wangi apakah ini?”,“Ini adalah wanginya Masyithoh, wanita yang menyisir anak Firaun, dan anak-anaknya”, jawab Jibril AS.
Masyitoh adalah tukang sisir anak perempuan Firaun, ketika dia melakukan pekerjaannya tiba-tiba sisirnya terjatuh, spontan dia mengatakan: “Bismillah, celakalah Firaun”, mendengar ini anak Firaun bertanya: “Apakah kamu memiliki Tuhan selain ayahku?”,Masyithoh menjawab: “Ya”. Kemudian dia mengancam akan memberitahukan hal ini kepada Firaun. Setelah dihadapkan kepada Raja yang Lalim itu, dia berkata: “Apakah kamu memiliki Tuhan selain aku?”, Masyithoh menjawab: “Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah”.
Mengetahui keteguhan iman Masyithoh, kemudian Firaun mengutus seseorang untuk menarik kembali dia dan suaminya yang tetap beriman kepada Allah agar murtad, jika tidak maka mereka berdua dan kedua anaknya akan disiksa, tapi keimanan masih menetap di hati Masyithoh dan suaminya, justru dia berkata: “Jika kamu hendak membinasakan kami, silahkan, dan kami harap jika kami terbunuh kuburkan kami dalam satu tempat”.
Maka Firaun memerintahkan agar disediakan kuali raksasa dari tembaga yang diisi minyak dan air kemudian dipanasi, setelah betul-betul mendidih, dia memerintahkan agar mereka semua dilemparkan ke dalamnya, satu persatu mereka syahid, sekarang tinggal Masyithoh dan anaknya yang masih menyusu berada dalam dekapannya, kemudian anak itu berkata: “Wahai ibuku, lompatlah, jangan takut, sungguh engkau berada pada jalan yang benar”, kemudian dilemparlah dia dan anaknya.
Kemudian di tengah perjalanan, beliau juga bertemu dengan sekelompok kaum yang menghantamkan batu besar ke kepala mereka sendiri sampai hancur, setiap kali hancur, kepala yang remuk itu kembali lagi seperti semula dan begitu seterusnya. Jibril menjelaskan bahwa mereka adalah manusia yang merasa berat untuk melaksanakan kewajiban sholat.
Kemudian beliau juga bertemu sekelompok kaum, di hadapan mereka ada daging yang baik yang sudah masak, sementara di sisi lain ada daging yang mentah lagi busuk, tapi ternyata mereka lebih memilih untk menyantap daging yang mentah lagi busuk, ketika Rasulullah menanyakan perihal ini, Jibril menjawab: “Mereka adalah manusia yang sudah mempunyai isteri yang halal untuknya, tapi dia justru berzina (berselingkuh) dengan wanita yang jelek (hina), dan begitupula mereka adalah para wanita yang mempunyai suami yang halal baginya tapi justru dia mengajak laki-laki lain untuk berzina dengannya”.
Ketika beliau melanjutkan perjalanan, tiba-tiba seseorang memanggil beliau dari arah kanan: “Wahai Muhammad, aku meminta kepadamu agar kamu melihat aku”, tapi Rasulullah tidak memperdulikannya. Kemudian Jibril menjelaskan bahwa itu adalah panggilan Yahudi, seandainya beliau menjawab panggilan itu maka umat beliau akan menjadi Yahudi. Begitu pula beliau mendapat seruan serupa dari sebelah kirinya, yang tidak lain adalah panggilan nashrani, namun Nabi tidak menjawabnya. Walhamdulillah.
Kemudian tiba-tiba muncul di hadapan beliau seorang wanita dengan segala perhiasan di tangannya dan seluruh tubuhnya, dia berkata: “Wahai Muhammad lihatlah kepadaku”, tapi Rasulullah tidak menoleh kepadanya, Jibril berkata: “Wahai Nabi itu adalah dunia, seandainya anda menjawab panggilannya maka umatmu akan lebih memilih dunia daripada akhirat”.
Demikianlah perjalanan ditempuh oleh beliau SAW dengan ditemani Jibril dan Mikail, begitu banyak keajaiban dan hikmah yang beliau temui dalam perjalanan itu sampai akhirnya beliau berhenti di Baitul Maqdis (Masjid al Aqsho). Beliau turun dari Buraq lalu mengikatnya pada salah satu sisi pintu masjid, yakni tempat dimana biasanya Para Nabi mengikat buraq di sana.
Kemudian beliau masuk ke dalam masjid bersama Jibril AS, masing-masing sholat dua rakaat. Setelah itu sekejab mata tiba-tiba masjid sudah penuh dengan sekelompok manusia, ternyata mereka adalah para Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian dikumandangkan adzan dan iqamah, lantas mereka berdiri bershof-shof menunggu siapakah yang akan mengimami mereka, kemudian Jibril AS memegang tangan Rasulullah SAW lalu menyuruh beliau untuk maju, kemudian mereka semua sholat dua rakaat dengan Rasulullah sebagai imam. Beliaulah Imam (Pemimpin) para Anbiya’ dan Mursalin.
Setelah itu Rasulullah SAW merasa haus, lalu Jibril membawa dua wadah berisi khamar dan susu, Rasulullah memilih wadah berisi susu lantas meminumnya, Jibril berkata: “Sungguh anda telah memilih kefitrahan yaitu al Islam, jika anda memilih khamar niscaya umat anda akan menyimpang dan sedikit yang mengikuti syariat anda”.
Setelah melakukan Isra’ dari Makkah al Mukarromah sampai ke Masjid al Aqsha, Baitul Maqdis, kemudian beliau disertai malaikat Jibril AS siap untuk melakukan Mi’raj yakni naik menembus berlapisnya langit ciptaan Allah yang Maha Perkasa sampai akhirnya beliau SAW berjumpa dengan Allah dan berbicara dengan Nya, yang intinya adalah beliau dan umat ini mendapat perintah sholat lima waktu. Sungguh merupakan nikmat dan anugerah yang luar biasa bagi umat ini, di mana Allah SWT memanggil Nabi-Nya secara langsung untuk memberikan dan menentukan perintah ibadah yang sangat mulya ini. Cukup kiranya hal ini sebagai kemulyaan ibadah sholat. Sebab ibadah lainnya diperintah hanya dengan turunnya wahyu kepada beliau, namun tidak dengan ibadah sholat, Allah memanggil Hamba yang paling dicintainya yakni Nabi Muhammad SAW ke hadirat Nya untuk menerima perintah ini.
Ketika beliau dan Jibril sampai di depan pintu langit dunia (langit pertama), ternyata disana berdiri malaikat yang bernama Ismail, malaikat ini tidak pernah naik ke langit atasnya dan tidak pernah pula turun ke bumi kecuali disaat meninggalnya Rasulullah SAW, dia memimpin 70 ribu tentara dari malaikat, yang masing-masing malaikat ini membawahi 70 ribu malaikat pula.
Jibril meminta izin agar pintu langit pertama dibuka, maka malaikat yang menjaga bertanya:
“Siapakah ini?”
Jibril menjawab: “Aku Jibril.”
Malaikat itu bertanya lagi: “Siapakah yang bersamamu?”
Jibril menjawab: “Muhammad saw.”
Malaikat bertanya lagi: “Apakah beliau telah diutus (diperintah)?”
Jibril menjawab: “Benar”.
Setelah mengetahui kedatangan Rasulullah malaikat yang bermukim disana menyambut dan memuji beliau dengan berkata:
“Selamat datang, semoga keselamatan menyertai anda wahai saudara dan pemimpin, andalah sebaik-baik saudara dan pemimpin serta paling utamanya makhluk yang datang”.
Maka dibukalah pintu langit dunia ini”.
Setelah memasukinya beliau bertemu Nabi Adam dengan bentuk dan postur sebagaimana pertama kali Allah menciptakannya. Nabi saw bersalam kepadanya, Nabi Adam menjawab salam beliau seraya berkata:
“Selamat datang wahai anakku yang sholeh dan nabi yang sholeh”.
Di kedua sisi Nabi Adam terdapat dua kelompok, jika melihat ke arah kanannya, beliau tersenyum dan berseri-seri, tapi jika memandang kelompok di sebelah kirinya, beliau menangis dan bersedih. Kemudian Jibril AS menjelaskan kepada Rasulullah, bahwa kelompok disebelah kanan Nabi Adam adalah anak cucunya yang bakal menjadi penghuni surga sedang yang di kirinya adalah calon penghuni neraka.
Kemudian Rasulullah melanjutkan perjalanannya di langit pertama ini, tiba-tiba pandangan beliau tertuju pada kelompok manusia yang dihidangkan daging panggang dan lezat di hadapannya, tapi mereka lebih memilih untuk menyantap bangkai disekitarnya. Ternyata mereka adalah manusia yang suka berzina, meninggalkan yang halal untuk mereka dan mendatangi yang haram.
Kemudian beliau berjalan sejenak, dan tampak di hadapan beliau suatu kaum dengan perut membesar seperti rumah yang penuh dengan ular-ular, dan isi perut mereka ini dapat dilihat dari luar, sehingga mereka sendiri tidak mampu membawa perutnya yang besar itu. Mereka adalah manusia yang suka memakan riba.Disana beliau juga menemui suatu kaum, daging mereka dipotong-potong lalu dipaksa agar memakannya, lalu dikatakan kepada mereka:
“makanlah daging ini sebagaimana kamu memakan daging saudaramu di dunia, yakni menggunjing atau berghibah”.
Kemudian beliau naik ke langit kedua, seperti sebelumnya malaikat penjaga bertanya seperti pertanyaan di langit pertama. Akhirnya disambut kedatangan beliau SAW dan Jibril AS seperti sambutan sebelumnya. Di langit ini beliau berjumpa Nabi Isa bin Maryam dan Nabi Yahya bin Zakariya, keduanya hampir serupa baju dan gaya rambutnya. Masing-masing duduk bersama umatnya.
Nabi saw menyifati Nabi Isa bahwa dia berpostur sedang, putih kemerah-merahan warna kulitnya, rambutnya lepas terurai seakan-akan baru keluar dari hammam, karena kebersihan tubuhnya. Nabi menyerupakannya dengan sahabat beliau ‘Urwah bin Mas’ud ats Tsaqafi.
Nabi bersalam kepada keduanya, dan dijawab salam beliau disertai sambutan: “Selamat datang wahai saudaraku yang sholeh dan nabi yang sholeh”.
Kemudian tiba saatnya beliau melanjutkan ke langit ketiga, setelah disambut baik oleh para malaikat, beliau berjumpa dengan Nabi Yusuf bin Ya’kub. Beliau bersalam kepadanya dan dibalas dengan salam yang sama seperti salamnya Nabi Isa.
Nabi berkomentar: “Sungguh dia telah diberikan separuh ketampanan”. Dalam riwayat lain, beliau bersabda: “Dialah paling indahnya manusia yang diciptakan Allah, dia telah mengungguli ketampanan manusia lain ibarat cahaya bulan purnama mengalahkan cahaya seluruh bintang”.
Ketika tiba di langit keempat, beliau berjumpa Nabi Idris AS. Kembali beliau mendapat jawaban salam dan doa yang sama seperti Nabi-Nabi sebelumnya.
Di langit kelima, beliau berjumpa Nabi Harun bin ‘Imran AS, separuh janggutnya hitam dan seperuhnya lagi putih (karena uban), lebat dan panjang. Di sekitar Nabi Harun tampak umatnya sedang khusyu’ mendengarkan petuahnya.
Setelah sampai di langit keenam, beliau berjumpa beberapa nabi dengan umat mereka masing-masing, ada seorang nabi dengan umat tidak lebih dari 10 orang, ada lagi dengan umat di atas itu, bahkan ada lagi seorang nabi yang tidak ada pengikutnya.
Kemudian beliau melewati sekelompok umat yang sangat banyak menutupi ufuk, ternyata mereka adalah Nabi Musa dan kaumnya. Kemudian beliau diperintah agar mengangkat kepala beliau yang mulya, tiba-tiba beliau tertegun dan kagum karena pandangan beliau tertuju pada sekelompok umat yang sangat banyak, menutupi seluruh ufuk dari segala sisi, lalu ada suara:“Itulah umatmu, dan selain mereka terdapat 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab “.
Pada tahapan langit keenam inilah beliau berjumpa dengan Nabi Musa AS, seorang nabi dengan postur tubuh tinggi, putih kemerah-merahan kulit beliau. Nabi saw bersalam kepadanya dan dijawab oleh beliau disertai dengan doa. Setelah itu Nabi Musa berkata: “Manusia mengaku bahwa aku adalah paling mulyanya manusia di sisi Allah, padahal dia (Rasulullah saw) lebih mulya di sisi Allah daripada aku”.
Setelah Rasulullah melewati Nabi Musa, beliau menangis. Kemudian ditanya akan hal tersebut. Beliau menjawab: “Aku menangis karena seorang pemuda yang diutus jauh setelah aku, tapi umatnya lebih banyak masuk surga daripada umatku”.
Kemudian Rasulullah saw memasuki langit ketujuh, di sana beliau berjumpa Nabi Ibrahim AS sedang duduk di atas kursi dari emas di sisi pintu surga sambil menyandarkan punggungnya pada Baitul Makmur, di sekitarnya berkumpul umatnya.
Setelah Rasulullah bersalam dan dijawab dengan salam dan doa serta sambutan yang baik, Nabi Ibrahim berpesan:“Perintahkanlah umatmu untuk banyak menanam tanaman surga, sungguh tanah surga sangat baik dan sangat luas”. Rasulullah bertanya: “Apakah tanaman surga itu?”, Nabi Ibrahim menjawab: “(Dzikir) Laa haula wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adziim“.
Dalam riwayat lain beliau berkata: “Sampaikan salamku kepada umatmu, beritakanlah kepada mereka bahwa surga sungguh sangat indah tanahnya, tawar airnya dan tanaman surgawi adalah Subhanallah wal hamdu lillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar”.
Kemudian Rasulullah diangkat sampai ke Sidratul Muntaha, sebuah pohon amat besar sehingga seorang penunggang kuda yang cepat tidak akan mampu untuk mengelilingi bayangan di bawahnya sekalipun memakan waktu 70 tahun. Dari bawahnya memancar sungai air yang tidak berubah bau, rasa dan warnanya, sungai susu yang putih bersih serta sungai madu yang jernih. Penuh dengan hiasan permata zamrud dan sebagainya sehingga tidak seorang pun mampu melukiskan keindahannya.
Kemudian beliau saw diangkat sampai akhirnya berada di hadapan telaga Al Kautsar, telaga khusus milik beliau saw. Setelah itu beliau memasuki surga dan melihat disana berbagai macam kenikmatan yang belum pernah dipandang mata, didengar telinga dan terlintas dalam hati setiap insan.
Begitu pula ditampakkan kepada beliau neraka yang dijaga oleh malaikat Malik, malaikat yang tidak pernah tersenyum sedikitpun dan tampak kemurkaan di wajahnya.
Dalam satu riwayat, setelah beliau melihat surga dan neraka, maka untuk kedua kalinya beliau diangkat ke Sidratul Muntaha, lalu beliau diliputi oleh awan dengan beraneka warna, pada saat inilah Jibril mundur dan membiarkan Rasulullah berjalan seorang diri, karena Jibril tahu hanya beliaulah yang mampu untuk melakukan hal ini, berjumpa dengan Allah SWT.
Setelah berada di tempat yang ditentukan oleh Allah, tempat yang tidak seorang makhlukpun diizinkan berdiri disana, tempat yang tidak seorangpun makhluk mampu mencapainya, beliau melihatNya dengan mata beliau yang mulya. Saat itu langsung beliau bersujud di hadapan Allah SWT.
Allah berfirman: “Wahai Muhammad.”Labbaik wahai Rabbku”, sabda beliau.
“Mintalah sesuka hatimu”, firman Nya.
Nabi bersabda: “Ya Allah, Engkau telah menjadikan Ibrahim sebagai Khalil (kawan dekat), Engkau mengajak bicara Musa, Engkau berikan Dawud kerajaan dan kekuasaan yang besar, Engkau berikan Sulaiman kerajaan agung lalu ditundukkan kepadanya jin, manusia dan syaitan serta angin, Engkau ajarkan Isa at Taurat dan Injil dan Engkau jadikan dia dapat mengobati orang yang buta dan belang serta menghidupkan orang mati”.
Kemudian Allah berfirman: “Sungguh Aku telah menjadikanmu sebagai kekasihKu”.
Dalam Shohih Imam Muslim diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, bahwa rasulullah bersabda: ” … kemudian Allah mewajibkan kepadaku (dan umat) 50 sholat sehari semalam, lalu aku turun kepada Musa (di langit ke enam), lalu dia bertanya: “Apa yang telah Allah wajibkan kepada umat anda?”
Aku menjawab: “50 sholat”,
Musa berkata: “kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan sebab umatmu tidak akan mampu untuk melakukannya”,
Maka aku kembali kepada Allah agar diringankan untuk umatku, lalu diringankan 5 sholat (jadi 45 sholat), lalu aku turun kembali kepada Musa, tapi Musa berkata: “Sungguh umatmu tidak akan mampu melakukannya, maka mintalah sekali lagi keringanan kepada Allah”.
Maka aku kembali lagi kepada Allah, dan demikianlah terus aku kembali kepada Musa dan kepada Allah sampai akhirnya Allah berfirman: “Wahai Muhammad, itu adalah kewajiban 5 sholat sehari semalam, setiap satu sholat seperti dilipatgandakan menjadi 10, maka jadilah 50 sholat”.
Maka aku beritahukan hal ini kepada Musa, namun tetap dia berkata:“Kembalilah kepada Rabbmu agar minta keringanan”,
Maka aku katakan kepadanya: “Aku telah berkali-kali kembali kepadaNya sampai aku malu kepadaNYa”.
Setelah beliau menerima perintah ini, maka beliau turun sampai akhirnya menaiki buraq kembali ke kota Makkah al Mukarromah, sedang saat itu masih belum tiba fajar.
Pagi harinya beliau memberitahukan mukjizat yang agung ini kepada umatnya, maka sebagian besar diantara mereka mendustakan bahkan mengatakan nabi telah gila dan tukang sihir, saat itu pertama umat yang membenarkan dan mempercayai beliau adalah Sayyiduna Abu Bakar, maka pantaslah beliau bergelar As Shiddiq, bahkan tidak sedikit diantara mereka yang tadinya beriman, kembali murtad keluar dari syariat.
Sungguh keimanan itu intinya adalah membenarkan dan percaya serta pasrah terhadap semua yang dibawa dan diberitakan Nabi Muhammad SAW, sebab beliau tidak mungkin berbohong apalagi berkhianat dalam Risalah dan Dakwah beliau. Beliaulah Nabi yang mendapat gelar Al Amiin (dipercaya), Ash Shoodiq (selalu jujur) dan Al Mashduuq (yang dibenarkan segala ucapannya). Shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.
Inilah ringkasan dari perjalanan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang kami nukil dengan ringkas dari kitab Al Anwaarul Bahiyyah dan Dzikrayaat wa Munaasabaat, keduanya karya Al Imam Al Muhaddits As Sayyid Muhammad bin Alawy al Maliky al Hasany RA, Mahaguru dari Al Ustadz al habib Sholeh bin Ahmad al Aydrus.

Napak Tilas Nur Muhammad Saw



Istri Nabi Ibrahim AS yang bernama sarah tak dapat menyembunyikan rasa cemburunya saat melihat Hajar, yang menjadi istri kedua Nabi Ibrahim, melahirkan anak lelaki yang bernama Ismail. Nabi Ibrahim amat memahami perasaan sang istri. Karena itu, ia yang saat itu bermukim di Syam, berniat hendak menjauhkan putranya bersama Hajar dari Sarah. Ia pun membaw keduanya pergi hingga tiba di sebuah tempat yang dikehendaki Allah kelak menjadi tempat tinggal anak-anak cucu Ismail, yaitu sebuah lembah gersang di tengah Mekah.
Setiba di tempat itu, Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar bersama putranya, Ismail, dengan menunggang untanya berjalan pulang ke Syam.
Sambil menggendong putranya, Hajar berjalan tergopoh-gopoh mengikuti suaminya dari belakang unta seraya berkata,”Kepada siapa engkau meninggalkanku bersama anakku ini?”
Ibrahim menjawab singkat,”Kepada Allah Azza Wa Jalla.”
Jawaban itu bukan sama sekalikareana ia ingin berlepas diri dari tanggung jawab seorang kepala keluarga, melainkan karena ia sepenuhnya memahami apa yang akan terjadi kelak, atas kehendak Allah Swt.
Sejak saat itu Ismail tinggal di kota Mekah, hingga menurunkan banyak keturunan. Diantara keturunannya, terdapat kaum yang dikenal sebagai”Adnaniyyun” atau keturunan Adnan. Karena berbagai kelebihan yang mereka miliki, kaum ini memiliki posisi istimewa di tengah-tengah penduduk Mekah kala itu.
Setiba di tempat itu, Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar bersama putranya, Ismail, dengan menunggang untanya berjalan pulang ke Syam.
Sambil menggendong putranya, Hajar berjalan tergopoh-gopoh mengikuti suaminya dari belakang unta seraya berkata,”Kepada siapa engkau meninggalkanku bersama anakku ini?”
Ibrahim menjawab singkat,”Kepada Allah Azza Wa Jalla.”
Jawaban itu bukan sama sekalikareana ia ingin berlepas diri dari tanggung jawab seorang kepala keluarga, melainkan karena ia sepenuhnya memahami apa yang akan terjadi kelak, atas kehendak Allah Swt.
Sejak saat itu Ismail tinggal di kota Mekah, hingga menurunkan banyak keturunan. Diantara keturunannya, terdapat kaum yang dikenal sebagai”Adnaniyyun” atau keturunan Adnan. Karena berbagai kelebihan yang mereka miliki, kaum ini memiliki posisi istimewa di tengah-tengah penduduk Mekah kala itu.

Siapa Menanam Keburukan…
Putra-putra Adnan tetunya menjadi generasi pertama kaum “Adnaniyyun”. Diantara mereka ada yang bernama Ma’ad. Isyarat akan keberadaan nur agung pada dirinya terlihat dari namanya, Ma’ad, yang berasal dari a’addahu, maksudnya ia dijadikan sebagai persiapan untuk suatu masa.
Ma’ad dikenal sebagai salah seorang yang memerangi Bani Israil. Disebutkan bila ia berperang, tidaklah ia pulang kecuali dengan kemenangan, dan itu disebabkan keberkahan nur Muhammad yang ada di dahinya.
Saat mengutus Bukhtanashashar kepada bangsa Arab, Allah perintahkan Nabi Armiya AS untuk membawa Ma’ad di atas kendaraannya, agar Ma’ad tidak terkena kesengsaraan dan kebinasaan. Dikatakan kepadanya,”Sungguh akan Ku-keluarkan dari sulbinya, seorang nabi mulia yang Ku-jadikan penutup para Nabi.”
Nabi Armiya pun mengerjakanapa yang diperintahkan kepadanya itu.
Saat istri Ma’ad tengah bersalin, Ma’ad melihat nur Muhammad berkilauan diantara kedua mata si bayi. Betapa bergembiranya ia. Kemudian ia menyalakan dupa dan memberikan makanan. Ia mengatakan,”Sesungguhnya semua ini adalah nuzr (sedikit) untuk hak dari kelahiran ini.”
Si bayi, yang nama sebenarnya adalah Khalid, kemudian dipanggil dengan sebutan Nizar, yang berasal dari kata nazr atau nuzr.
Saat Nizar beranjak dewasa dan mengetahui bahwa di dalam dirinya bersemayam nur Muhammad, ia pun sangat berbahagia, hingga ia menyembelih hewan qurban dalam jumlah yang sangat banyak pada masa itu untuk dibagi-bagikan.
Seperti ayahnya dan kakeknya, kehidupannya dan putra-putra Ma’ad lainnya ada pada zaman Nabi Musa. Sebagaimana diceritakan Rasulullah Saw dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh At Thabrani dari Abu Umamah Al Bahili. Saat itu, Rasulullah Saw bercerita, tatkala ada perselisihan antara putra Ma’ad bin Adnan yang berjumlah hingga 40 orang dengan Nabi Musa saat bersama pasukannya, Nabi Musa hendak menyumpahi mereka. Maka kemudian turunlah wahyu dari Allah Swt,”Jangan kau sumpahi mereka, karena dari mereka itu kelak akan terlahir seorang nabi yang ummi dan pembawa kabar gembira, dan diantara mereka akan keluar umat yang dirahmati, yaitu umat Muhammad Saw…” Saat wafat, ia dimakamkan di suatu daerah bernama Dzat Al-Jaysy, dekat kota Madinah.
Sebelum wafat, ia mewasiatkan penjagaan kemuliaan nur Muhammad kepada salah seorang putranya, Umar. Umar digelari “Mudhar” karena ia menyukai minum al madhir atau susu asam (Yoghurt). Versi lain mengatakan, ia dinamai Mudhar karenayamdharul qulub maknanya “banyak hati cenderung kepadanya”. Kecenderungan itu karena kecakapan dan ketampanannya, sebab, disebutkan tidaklah seseorang melihatnya kecuali hatinya terpikat kepadanya.
Keberadaan nur Muhammad berbekas jelas dalam kepribadian Mudhar, hingga ia dikenal sebagai seseorang yang memiliki firasat dan ucapan penuh hikmah. Diantara ucapannya,”Orang yang menanam suatu keburukan akan menuai penyesalan.”
Sejumlah hadits menyebutkan namanya, seperti yang dikeluarkan oleh Ibn Sa’ad di dalam At Thabaqatt, bahwasannya Rasulullah Saw mengatakan,”Janganlah kalian mencela Mudhar, karena ia telah berserah diri (di jalan Allah).” Sementara dalam sebuah hadits yang dikeluarkan As Suhaili,” Janganlah kalian mencela Mudhar dan Rabiah (saudara laki-laki Mudhar), karena kedua-duanya adalah orang-orang yang beriman.”

Jangan Kalian Memusuhinya
Menjelang usia senja, Mudhar masih saja belum mendapatkan anak, sehingga ia merasa putus asa. Namun, diakhir usianya, Allah menganugerahinya seorang putra, hingga ia memberikan gelar pada anaknya dengan sebutan Ilyas, atau Al-Ya’s, yang semakna dengan kata al qunuth, “putus asa”. Adapun nama sebenarnya adalah Husain atau Habib.
Sebagaimana orang-orang tuanya, postur badannya juga tinggi besar. Dikenal sebagai seorang ahli hikmah (memiliki kebijaksanaan), ia dihormati layaknya kedudukan Luqmanul Hakim ditengah-tengah kaumnya. Ia juga dijuluki Sayyidul ‘Asyirah, atau penghulu dari keluarga besar masyarakat, gelar tersebut tidak diberikan kaumnya saat itu melainkan kepadanya.
Keberadaan nur Muhammad dalam dirinya amat terang, sebagaiman dikabarkan pada hadits mutawatir, bahwa dari sulbinya terdengar suara dzikir dan ucapan talbiyah Rasulullah Saw sebagaimana talbiyah orang yang sedang naik haji.
Diriwayatkan, dialah orang yang pertama kali wafat karena penyakit TBC. Istrinya sangat bersedih atas wafatnya, hingga sang istri bernadzar tidak mau tinggal di kota tempat Ilyas wafat, tidak mau tinggal di rumah atau berteduh di bawah atap. Ia menangisinya sepanjang siang dan malam, sampai air matanya mengalir di tanah, dan kemudian wafat dalam kesedihan.
Mudrikah adalah salah seorang putra yang ditinggalkan oleh Ilyas. Nama sebenarnya ‘Amr. Ia digelari Mudrikah karena adraka kulla fakhrin wa izzin fi aba’ihi, mendapatkan semua kemuliaan datuk-datuknya. Disebutkan pula bahwasannya nurul musthafa Saw zhahiran wa bayyinan fi jabinihi, nur Nabi Muhammad Saw tampak dan jelas di dahinya.
Kemuliaan sifat-sifat Mudrikah, berikut cahaya yang berada di sulbinya, menurun kepada putranya yang bernama Khuzaimah. Salah satu pendapat mengatakan bahwa sebab penamaan “Khuzaimah”, ialah liannahu khuzaima, adalah karena nur datuk-datuknya dan nur Muhammad berkumpul dalam dirinya. Seorang penyair mengatakan,”Adapun Khuzaimah memiliki banyak kemuliaan akhlak yang terdapat padanya dan tidak ada pertentangan tentang hal itu.”
Mengenai seorang putra Khuzaimah, disebutkan bahwasannya annahu fi kinni bayna qawmihi aw li annah kana yukinnu asrarahum, Ia berada dalam penjagaan di antara kaumnya atau karena ia menjaga rahasia kaumnya. Karenanya ia dinamakan “Kinanah”. Kinanah dikenal sebagai seorang pemimpin yang baik dengan kedudukan yang agung. Orang-orang Arab mendatanginya karena ilmu dan keutamaannya. Kalau hendak makan, ia selalu mencari kawan untuk makan bersama, tidak mau makan sendiri.
Isyarat akan kedatangan Nabi Muhammad Saw pernah dilontarkannya yaitu saat ia mengatakan,”Sungguh akan datang seorang nabi yang mulia dari kota Mekah yang dipanggil Ahmad. Ia menyeru kepada Allah, kebaikan, dan akhlak yang mulia. Ikutilah, niscaya akan bertambah kemuliaan kalian. Jangan kalian memusuhinya, karena sesungguhnya ia membawa kebenaran.”

Aku Dilahirkan Dari…
Diantara istri Khuzaimah (ayah Kinanah), ada yang bernama Barrah binti Udd bin Thabikhah. Setelah Khuzaimah wafat, sebagaimana kebiasaan pada zaman jahiliyah, istrinya itu dinikahi oleh putra tertuanya, yaitu Kinanah. Ada yang mengatakan bahwa An Nadhr terlahir dari pasangan Kinanah dan Barrah binti Udd, janda ayah Kinanah sendiri. Pendapat tersebut adalah pendapat yang keliru.
Abu Utsman Al Jahizh mengatakan,”Kinanah menikahi istri ayahnya itu, tapi kemudian istrinya itu wafat tanpa meninggalkan seorang anak laki atau perempuan baginya, maka kemudian ia menikahi keponakan istrinya yang telah wafat itu yang bernama Barrah binti Murr bin Udd bin Tabikhah, maka kemudian lahirlah An Nadhr. Maka kebanyakan orang rancu dengan hal ini dikarenakan kesamaan nama kedua istrinya itu dan nasab keduanya yang dekat membuat susunan namanya pun hampir mirip.”
Ia menambahkan,”Inilah kenyataan yang dipegang oleh para ahli ilmu dan ahli nasab, dan kita berlindung kepada Allah atas (pandangan yang menganggap adanya) cacat pada nasab Rasulullah Saw.’Aku dilahirkan dari orang tuaku senantiasa dari pernikahan seperti halnya pernikahan Islam’.”
Nama sebenarnya adalah Qays, An Nadhr adalah gelarnya, karena keelokan dan ketampanan wajahnya.
Hingga kemudian silsilah suci itu berlanjut kepada salah seorang putra An Nadhr yang bernama Malik. Nama itu diberikan karena suatu saat kelak ia akan menjadi seorang pemimpin. Memang keadaan sebenarnya membuktikan itu. Setelah dewasa, ia menjadi pemimpin bangsa Arab di Zamannya.

Sedikit Yang Ada Di Tanganmu…
Setelah An Nadhr, tersebutlah nama salah seorang putranya yang tersohor, yaitu Fihr. Ia juga dinamakan Quraisy, liannahu yaqrusy, maknanya ‘ia meneliti hajat orang yang memiliki hajat, kemudian ia menutupi hajat orang tersebut’. Sehingga menjadi kebiasaan bagi keturunannya yang memiliki kebiasaan seperti itu, hingga seorang Quraisy dikenali orang baik karena nasabnya maupun karena sifat terpujinya itu.
Berdasarkan pendapat yang paling tepat, Fihr adalah leluhur suku Quraisy. Karena suku itu sendiri mengambil nama suku dari namanya. Yang lainnya mengatakan bahwa leluhur Quraisy adalah An Nadhr bin Kinanah, atau Ilyas bin Mudhar, atau Mudhar bin Nizar.
Kelanjutan penjagaan nur Muhammad dari sulbinya diteruskan kepada sulbi sang putra yang bernama Ghalib. Diantara ucapan Fihr kepada anaknya itu,”Sedikit yang ada di tanganmu itu lebih mencukupimu, daripada banyak tapi mencoreng wajahmu, sekalipun itu menjadi milikmu.” Ia menamakan putranya dengan Ghalib, bi an yashira ghaliban ‘alaa a’da-ihi, karena ia akan menjadi orang yang menang terhadap musuh-musuhnya.
Dari Ghalib, nur nan suci itu berpindah kepada putranya yang bernama Lu’ay. Kata Lu’ay, semakna dengan al anah, perlahan-lahan. Dinamakan ia dengan itu, li annahu kana ‘indahu ta’annin fil umur, karena ia perlahan-lahan pada setiap urusannya.

Segera Datang Pagi Yang Terang…
Lu’ay memiliki putra yang ia namakan Ka’ab, lantaran memandang ketinggian dan kemuliaannya di tengah-tengah kaumnya, karena kullu syai’in ‘ala fahuwa ka’bun setiap sesuatu yang tinggi itu disebut ka’ab. Sebagaimana juga Bait Al Haram disebut Al Ka’bah.
Dialah yang pertama kali menyebutkan nama hari Jumat, hari yang dulunya disebut sebagai hari’Arubah, karena di hari itu kaum Quraisy berkumpul. Saat itu ia mengingatkan mereka akan kebangkitan Nabi Saw, memberi tahu mereka bahwa nabi itu dari keturunannya, dan menyerukan kepada mereka agar mengikutinya. Berdasarkan penuturan Abdurrahman bin Auf, seperti dikemukakan Ibnul Jauzi dalam Al Qafa bi Ahwalil Mushthafa, Disebutkan bahwa Ka’ab bin Lu’ay mengumpulkan kaumnya di suatu tempat. Diantara yang dikatakannya adalah,”…Malam kelam perlahan-lahan mulai hilang dan akan segera datang pagi yang terang, dan terang benderang…Hendaklah kalian menghias rumah suci kalian (Ka’bah) dan muliakanlah selalu. Kalian pun hendaknya tetap berpegang pada kesucian Ka’bah. Kelak akan datang berita besar bahwa dari tempat suci itu akan keluar seorang nabi yang amat mulia….”
Dia mengatakan,”Demi Allah, bila aku ada pada saat itu (saat keberadaan Nabi Muhammad) dalam keadaan penuh kesadaran, aku akan putuskan dengan mantap, dan kuikat seperti halnya kuikat sebuah unta.”
Ia menegaskan kembali hal itu seakan ia telah mengetahui bahwa nanti, disaat kemunculan Nabi, kaum kerabatnya sendiri banyak yang mengingkarinya. “Duhai, seandainya aku dapat menyaksikan dakwahnya (Nabi), ketika kaum kerabatnya sendiri pada awalnya mengharapkan datangnya kebenaran tapi kemudian menjadi hina (karena mereka mengingkarinya).”
Imam Al Mawardi mengatakan,”Inilah yang disebutkan sebagai dari fitrah-fitrah dari ilham, yang ditampakkan akal lalu terbukti akan kebenarannya, dan digambarkan oleh jiwa lalu terwujud.” Itu terjadi sekalipun jarak wafatnya ia dengan hijrahnya Nabi Saw adalah 232 tahun dalam hitungan tahun masehi. Disebutkan, ia termasuk orang yang paling jelas keberadaan nur Muhammad pada dirinya.

Orang Yang Memuliakan Orang Hina…
Ka’ab meneruskan kepemimpinannya pada seorang putranya yang ia namakan “Murrah”. Ia dinamakan itu, liannahu yashiru murran ‘alal a’da’I, karena putranya ini akan berjalan melewati atau melangkahi musuh-musuhnya, maksudnya ia selalu dapat mengalahkan dan menundukkan musuhnya. Begitupun putra Murrah yang dikenal bernama Kilab. Sebabnya adalah limukalabatihil a’daa’a fil harbi, karena ia selalu mengalahkan musuh dalam peperangan. Sedangkan nama sebenarnya adalah Hakim atau ’Urwah atau Al Muhadzdzab.
Ia memiliki dua putra, Qushay dan Zuhrah. Qushay melanjutkan trah silsilah pewarisan bersemayamnya nur Muhammad, hingga kelak sampai pada ayah Nabi Muhammad Saw, Abdullah. Sedangkan Zuhrah , menurunkan kabilah yang cukup disegani di masa itu, Bani Zuhrah. Diantara orang yang terlahir dari keluarga Bani Zuhrah adalah ibunda Nabi Muhammad Saw, Siti Aminah. Karenanya pada diri Kilab inilah bertemunya nasab kedua orang tua Nabi Muhammad Saw.
Mengenai Qushay putra Kilab, Abdul Muthalib, kakek Nabi, pernah memujinya dengan sebuah qasidah,”Datuk kalian Qushay dipanggil Mujammi’ (orang yang mengumpulkan), dengannya Allah mengumpulkan seluruh kabilah dari Fihr (kaum Quraisy).” Ia dijuluki Al Mujammi, karena mengumpulkan seluruh kabilah Quraisy setelah mereka mulai terpecah belah menjadi 12 kabilah. Sebagaimana datuknya dulu, Ka’ab bin Lu’ay, ia juga mengumpulkan mereka untuk mengingatkan akan dibangkitkannya seorang nabi yang mulia di tanah haram.
Sejarah mencatat, Qushay memainkan peranan besar dalam sejarah Mekah saat ia menciptakan berbagai ketentuan penting mengenai peziarahan ke Ka’bah tiap tahun. Dalam syariat Islam, ritus ziarah itu kemudian dikenal sebagai ibadah haji, setelah diadakan berbagai perubahan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Diantara yang pernah diucapkannya,”Orang yang memuliakan orang yang hina, maka ia akan berserikat dengan kehinaanya.”
Para sejarawan mencatat nama Abdu Manaf sebagai putra Qushay yang termulia, termashur, dan terkuat. Nama sebenarnya adalah Al Mughirah, biannahu yughiru ‘alal a’da, karena ia membuat segan musuh-musuhnya. Ia ditaati oleh suku Quraisy. Karena keelokkannya, ia juga dijuluki Qamarul Bathha, bulan yang indah. Diriwayatkan, nur Muhammad memancar jelas dari wajahnya. Ia dikenal juga sebagai pemegang panji bendera Nizar dan tombak Ismail As.
Ia digelari “Abdu Manaf” pada awalnya karena sewaktu kecilnya ibunya menjadikan ia sebagai pelayan berhala bernama Manat, hingga ia dikatakan “Abdu Manat”. Ayahnya melihat tanda-tanda kemuliaan memancar pada dirinya, dan kemudian menggantinya dengan “Abdu Manaf”. Adapun apa yang diperbuat ibunya terhadap dirinya tidak mengurangi kemuliaan dirinya, karena disebutkan bahwa hal itu dikarenakania menjaga berhala itu karena mahalnya harga berhala itu, dan tidak terjadi peribadatan atau I’tiqad ketuhanan terhadap berhala itu. Dan saat itu adalah masa fatrah, masa kekosongan, para rasul sebelumnya sudah wafat, sedang rasul berikutnya belum ada.
Mengenai keyakinan yang ada pada dirinya, diantaranya tergambarkan dari beberapa batu di zaman dahulu yang menuliskan perkataannya,”Aku Al Mughirah putra Qushay, kuwasiatkan kaum Quraisy untuk bertakwa kepada Allah dan menyambung silaturahim.”
Dikatakan tentang dirinya,”Sesungguhnya kaum Quraisy itu memiliki keturunan, maka meneteslah inti kemuliannya kepada Abdu Manaf.” Ia wafat di kota Mekah, ada pula yang mengatakannya di kota Ghazzah.

Tidaklah Aku Menikah Kecuali…
Seorang putra Abdu Manaf, Hasyim, telah menampakkan jiwa kepemimpinannya sejak kecil. Bahkan dikatakan, ia telah memimpin kaumnya sejak masih kecil. Ia bernama Amr Al ‘Ula, li’uluwwi martabatihi, karena ketinggian martabatnya. Disebutkan, setiap orang yang melihatnya akan mencium tangannya. Masyarakat Arab saat itu menyodorkan anak-anak perempuan mereka kepadanya, agar ia berkenan menikahinya.
Ia seorang yang sangat mulia dan diagungkan di tengah-tengah kaumnya. Dinamakan “Hasyim” karena ia yahsyimu ats tsarid li adh dhaif, memotong-motong (menghidangkan) roti kering untuk tamu-tamunya. Hingga dikatakan perihal Hasyim itu,”Hidangannya selalu tersedia, tidak terangkat, baik pada saat kesusahan maupun saat kekenyangan.” Sampai saat ini ada ungkapan yang sering dikatakan orang, Al Karam inda Bani Hasyim, Kemuliaan dimiliki oleh Bani Hasyim. Ungkapan itu terutama saat menggambarkan bagaimana keluarga Bani Hasyim hingga saat ini memiliki kemurahan tangan dan kebiasaan dalam memuliakan tamu-tamu mereka.
Ketika nur Muhammad sampai pada sulbi Hasyim, tersebarlah berita di seluruh penjuru dunia bahwa sudah dekat saat datangnya nabi akhir zaman, yang diutus untuk seluruh umat manusia.
Para pendeta Yahudi dan Nasrani di zamannya berlomba-lomba mendapatkan silsilah mata rantai nur tersebut. Untuk tujuan itu, mereka menyodorkan putri-putri mereka untuk dinikahinya. Namun ia mengatakan,”Demi Allah, Dzat yang telah melimpahkan kemuliaan kepadaku melebihi seluruh penghuni alam ini, tidaklah aku akan menikah kecuali dengan wanita tersuci di seluruh alam.”
Putra Hasyim yang bernama Abdul Muthalib dilahirkan di Yatsrib, atau Madinah. Kulitnya sawo matang, ia dibesarkan di Mekah di sisi pamannya, Al Muthalib bin Abdu Manaf. Al Muthalib pamannya ini adalah leluhur Imam Syafi’i. Sebelum Hasyim wafat, ia meminta kepada saudaranya, Al Muthalib, Adrik ‘abdak bi yatsrib, Ambillah hambamu (keponakanmu) di Yatsrib (Madinah).
Maka setelah Hasyim wafat, ia mengambil keponakannya itu dari ibunya di kota Madinah, untuk menyenangkannya. Maka kemudian ia disebut “Abdul Muthalib”.
Saat dilahirkan, fi ra’sihi syaibah, ada uban di kepalanya, kelahirannya seakan, udhifa lil hamd, dipersiapkan untuk dipuji. Itu karena banyak orang yang memujinya. Karenanya, nama sebenarnya Abdul Muthalib adalah Syaibatul Hamd.
Ia adalah tempat mengeluh Bani Quraisy di kala mereka susah. Ia seorang yang cerdas, lisannya fasih, hatinya hadir, dan sangat dicintai kaumnya. Berkat nur Muhammad yang bersemayam dalam dirinya, kaumnya mengenali Abdul Muthalib akan doa-doanya yang selalu dikabulkan Allah Swt.
Sekalipun belum masuk pada masa kenabian cucunya, ia tidak digolongkan sebagai orang kafir. Ia termasuk dalam ahlul fatrah. Dalam perang Hunain, Rasulullah Saw mengatakan dengan penuh kebanggaan,”Aku seorang nabi, tidak berdusta, aku adalah putra Abdul Muthalib.”
H.M.H. Al Hamid Al Husaini (alm), seorang ulama dan sejarawan Islam yang produktif menulis buku, mengatakan,”Tidak mungkin beliau membanggakan Abdul Muthalib jika ia seorang kafir, sebab hal itu tidak diperkenankan.”
Sebagai sesepuh Quraisy, yang merupakan mayoritas penduduk Mekah, ia berseru dan menganjurkan penduduk agar segera meninggalkan Mekah, mengungsi ke daerah pegunungan yang aman. Sementara ia sendiri tidak pergi meninggalkan Mekah dan hendak bertahan dengan cara apapun yang mungkin dapat ditempuh. Setiba bala tentara Abrahah di perbatasan Mekah, Abdul Muthalib berserah diri kepada Tuhan, Penguasa Ka’bah. Seraya berpegang pada daun pintu Baitullah itu, ia menegadahkan tangan,” Ya Tuhan, hanya Engkaulah yang Maha Kuasa dan hanya Engkaulah yang dapat mengalahkan Abrahah beserta bala tentaranya. Engkau sajalah yang akan melindungi Rumah Suci ini dari kejahatan manusia durhaka dan congkak.”
Kemudian terjadilah apa yang dikehendaki Allah Swt. Belum sempat pasukan Abrahah menyerbu Mekah, Allah Swt menghancurkan bala tentara itu dengan emurunkan burung-burung Ababil, yang melontari mereka dengan batu sijjil. Itulah kenyataan sejarah yang disaksikan sendiri oleh penduduk Mekah dari tempat-tempat pengungsian, dan yang lansung diderita oleh bala tentara Abrahah.
Abdul Muthalib wafat pada usia 82 tahun, versi sejarah lainnya mengatakan 110 atau 120 tahun, kala Nabi Muhammad Saw berusia 8 tahun. Ummu Aiman, pengasuh Nabi, menceritakan,”Ketika itu saya melihat ia (Muhammad Saw) duduk di tempat tidur Abdul Muthalib sampai menangis.” Dan ia terus menangis saat turut mengantar jenazah ke pekuburan Hajun, Mekah.
Abdul Muthalib mempunyai banyak putra, diantaranya adalah yang bernama Abdullah. Dan Abdullah ini ayah Nabi Muhammad Saw, sang nabi akhir zaman yang sejak lama telah dinanti kedatangannya itu…
Sumber: Majalah Al Kisah No. 06/Tahun VII
Kisah Sekantong Air



Kisah ini terjadi ketika Nabi dan pasukannya sedang memerangi suatu suku Badui yang memusuhi kaum muslimin di Madinah.
Di sebuah padang pasir, karena persediaan minuman hampir habis, Nabi mengutus dua sahabat, yaitu Ali bin Abi Thalib dan Imran, untuk mencari sumber air.
Di tengah jalan keduanya bertemu seorang wanita penduduk setempat yang sedang menunggang unta dan membawa dua kantung air. Wanita tersebut memberi tahu bahwa air itu diperoleh pada jarak sehari-semalam perjalanan naik unta. Karena kaum pria dalam sukunya sedang pergi, wanita itu harus pergi sendiri.
Ali dan Imran mengajak wanita tersebut ikut mereka. Wanita itu menanyakan tujuan mereka. Mereka menjawab bahwa mereka akan mengajaknya menemui Nabi Saw.
Wanita itu menukas, "Bukankah dia disebut-sebut pengkhianat agama leluhurnya?"
Ali dan Imran berjanji akan memperkenalkan kepada Nabi Saw dan setelah mengetahui boleh berkomentar. Sampai di tempat Nabi, keduanya menceritakan perihal wanita itu kepada Nabi. Nabi Saw meminta wanita tersebut turun dari Unta dan meminjam kantong airnya.
Cukup Untuk Semuanya
Setelah mendapat izin dari si wanita, Nabi mengambil sejumlah air dari kantong wanita tersebut dan memasukkannya ke dalam kantong air milik beliau. Beliau lalu mengambil sejumlah air dari kantong kemudian mengembalikannya ke kantong air si wanita. Kemudian mengikat erat bagian atas kantong itu.
Para sahabat, yang memerlukan air, antre menadahkan kantong airnya dari kantong milik wanita tadi. Mereka dapat memuaskan dahaga mereka dan juga memberi minum unta mereka.
Walaupun telah digunakan untuk keperluan itu semua, kantong air wanita itu tampak tidak berubah, bahkan lebih penuh daripada sebelumnya. Semua itu terjadi sementara wanita tadi ikut menyaksikannya.
Lantas Nabi meminta para sahabat agar memberikan sesuatu kepada wanita itu sebagai ucapan terima kasih. Para sahabat mengumpulkan kurma, gandum, dan hasil pertanian lainnya, lalu mengikatnya dalam sebuah kantong. Beberapa sahabat lalu membantu wanita itu naik ke punggung unta dan menata muatan yang berisi hasil pertanian itu.
Nabi berkata kepada wanita tadi, "Engkau telah melihat, kami tidak mengurangi airnu, tetapi Allah telah membuat kami minum sepuas-puasnya dengan air itu."
Balasan Atas Sebuah Kebaikan
Ketika sampai di rumah, wanita itu menyebutkan alasan keterlambatannya, "Betapa menakjubkan! Di perjalanan tadi dua orang lelaki mengajakku menemui orang yang disebut-sebut sebagai pengkhianat agama leluhurnya..." Lalu wanita tersebut menceritakan seluruh kejadian itu dan mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat melakukan perbuatan penuh mukjizat seperti itu, jelaslah bahwa dia benar-benar seorang nabiyullah.
Setelah kejadian tersebut, kaum muslimin berhasil mengusir kaum musyrikin yang tinggal di sekitar desa wanita itu, tetapi mereka tidak mengusik suku wanita tadi.
Penduduk desa itu heran, dan wanita itu akhirnya menjelaskan bahwa kebaikan Nabi Saw itu dikarenakan dia pernah menolong Nabi dan para sahabatnya dengan meminjamkan kantong airnya.
"Tidakkah kau lihat betapa baiknya Islam itu?" katanya.
Serentak seluruh suku wanita tadi menjawab dakwah Nabi dengan masuk Islam.
Kantong Kurma Abu Hurairah alt=Cetak v:shapes="_x0000_i1028">



Imam Ath-Thabrani meriwayatkan, suatu hari Abu Hurairah berkata, “Saya merasa sedih karena tiga hal. Pertama, sewaktu Nabi wafat, saya adalah sahabat dan pelayan beliau yang masih kecil. Kedua, peristiwa terbunuhnya Utsman. Ketiga karena tempat perbekalan itu.”
Orang-orang yang hadir di sekitar Abu Hurairah bertanya, “Apa yang engkau maksudkan dengan tempat perbekalan itu, wahai Abu Hurairah?”
Abu Hurairah menjawab, “Ketika kami dalam perjalanan bersama Rasulullah, banyak orang yang kelaparan. Beliau bertanya, “Hai Abu Hurairah, apakah kamu punya sisa makanan?” Saya menjawab, “Ya, ada.” Saya membawa beberapa kurma di tempat perbekalan.” Lalu beliau menyuruh saya untuk membawanya kepada beliau.

Tanpa berpikir panjang, saya langsung membawanya pada Rasulullah. Ketika itu, beliau memasukkan tangannya ke dalam tempat perbekalan lalu mengeluarkannya kembali dengan satu genggam kurma. Beliau membeberkan kurma itu, sehingga terlihat banyak. “Undanglah sepuluh orang untuk datang kemari!” kata beliau. Setelah sepuluh orang itu datang, mereka dipersilahkan untuk makan kurma itu sampai kenyang.
Secara bergiliran, sepuluh demi sepuluh, mereka datang untuk memakan kurma-kurma tersebut. Akhirnya semua tentara yang ada pada saat itu semuanya merasa puas dan kenyang. Meskipun demikian, kurma-kurma itu masih tersisa.
Kemudian beliau berkata kepada saya, “Duduklah dan makan bagianmu!” Maka saya pun makan kurma-kurma yang dibeberkan tadi, ternyata jumlahnya menjadi lebih banyak dari yang saya berikan. Setelah saya memakannya, sisa kurma itu saya masukkan ke dalam kantong tempat perbekalan.
“Hai Abu Hurairah,” kata Rasulullah, “Jika kamu ingin mengambil kurma itu, masukkanlah tanganmu ke dalam tempat perbekalan itu secukupnya dan jangan berlebihan.” Kurma-kurma itu sebagai penyambung hidup saya pada masa Rasulullah. Setiap kali saya menginginkan kurma tersebut, saya rogoh kantong perbekalan untuk mengambilnya. Selain itu, saya juga menafkahkannya untuk memberi makan orang lain.
Kebiasaan ini berlanjut terus pada masa Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Baru ketika Utsman terbunuh, rumah saya kena bongkar. Maka tempat perbekalan itu pun hilang entah kemana.”
Sumber: Al Wafa bi Ahwalil Musthafa, Ibnul Jauzi
Kelahiran Sang Nabi Dalam Untaian Puisi


Selasa, 26 Januari 2010 21:15
Meski tiada kata yang cukup mewakili untuk menggambarkan keluhuran budinya, dengan segala keterbatasan para ulama pecintanya merangkum saat-saat kelahiran dan akhlaknya dalam untaian puisi yang indah.
Ketika bulan Maulid telah tiba. Seluruh dunia menyambutnya dengan gegap gempita. Ada yang menggelar pengajian, ada yang menyelenggarakan selamatan dan tumpengan. Bahkan ada yang menggelar prosesi besar-besaran selama hampir sebulan, seperti tradisi Grebeg Maulud di Keraton Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kasultanan Cirebon. Semuanya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran utusan-Nya, Muhammad SAW.
Dari berbagai tradisi merayakan kelahiran Rasulullah SAW tersebut, ada sebuah ritus yang nyaris seragam di semua tempat, yakni pembacaan kisah kelahiran sang nabi. Berbeda dengan sirah (biografi) dan tarikh (sejarah) karya sejarawan, kisah-kisah kelahiran Nabi yang dikenal dengan nama Maulid – atau dalam budaya Betawi disebut Rawi – itu berupa puisi panjang yang digubah oleh para ulama besar yang juga ahli syair.
Ada beragam jenis Maulid. Ada yang digubah dalam lirik-lirik qashidah murni yang indah, seperti Maulid Burdah, oleh Imam Muhammad Al-Bushiri, dan Maulid Syaraful Anam. Ada pula yang bercorak prosa lirik yang dipadu qashidah, seperti Maulid Ad-Diba’i, karya Al-Imam Abdurrahman bin Ali Ad-Diba’i Asy-Syaibani Az-Zubaidi; Maulid Azabi, karya Syaikh Muhammad Al-Azabi; Maulid Al-Buthy, karya Syaikh Abdurrauf Al-Buthy; Maulid Simthud Durar, karya Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi; dan yang mutakhir Maulid Adh-Dhiya-ul Lami’, karya Al-Habib Umar bin Hafidz dari Hadhramaut.
Ada pula ulama pujangga yang menyusun dua Maulid dalam dua model berbeda, seperti Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim Al-Barzanji al-Madani, penyusun Maulid Barzanji. Maulid karya khatib Masjid Nabawi (Madinah) yang wafat pada 1177 H/1763 M itu disusun dalam dua model: natsar (prosa lirik) yang terdiri atas 19 bab dengan 355 bait, dan nazham (qashidah puitis) berisi 16 bab dengan 205 bait.
Meski dengan corak penyusunan beragam, setiap karya Maulid memiliki kesamaan: mengandung keunikan dalam gaya dan irama yang khas, serta penuh metafora dan simbol. Dalam kajian sastra Arab, keunikan itu disebut Al-Madaih al-Nabawiyah, puisi-puisi sanjungan kenabian. Meski isinya sering kali disalahpahami oleh kalangan penentang Maulid sebagai kemusyrikan, metafora dan simbol dalam Maulid justru merupakan kekuatan dalam memunculkan kerinduan dan kecintaan umat pembaca kepada Nabi junjungannya.
Meski tidak sama persis, ada kesamaan lain dari Maulid-maulid tersebut. Yakni dalam pembagian kisah yang biasanya terdiri dari kisah penciptaan Nabi Muhammad SAW, kisah kehamilan ibunda sang Nabi, berbagai keajaiban menjelang kelahiran beliau, sosok dan kepribadian Rasulullah SAW, serta kiprah dakwah beliau.
Nur Muhammad
Beberapa Maulid juga menambahkan bagian-bagian yang tidak ada pada Maulid lainnya sebagai kekhasan. Misalnya, pencantuman silsilah Rasulullah SAW hingga Nabi Ibrahim AS dalam maulid Barzanji, atau pengutipan hadits-hadits tentang Nur Muhammad dalam Simthud Durar, dan tentang keutamaan Rasulullah dan umatnya dalam Ad-Diba’i.
Sebagai bagian dari karya sastra, penambahan-panambahan itu pun dirangkai dalam kalimat kalimat indah yang bersajak. Tengok, misalnya, pohon silsilah Nabi yang dirangkai oleh Syaikh Ja’far Al-Barzanji dalam Maulid-nya yang berjudul asli Qishshah al-Maulid an-Nabawi (Kisah Kelahiran Nabi). “Wa ba’du, kukatakan bahwa junjungan kita Nabi Muhammad SAW adalah putra Abdullah, putra Abdul Muthalib, yang nama aslinya ialah Syaibatul Hamd, karena budi pekertinya yang sangat terpuji. (Abdul Muthalib) adalah putra Hasyim, yang nama aslinya Amr, putra Abdu Manaf, yang nama aslinya Al-Mughirah, yang telah berhasil mencapai kedudukan yang sangat tinggi…”

Lebih indah lagi, bab nasab itu ditutup dengan serangkaian qashidah yang menawan.
Nasabun tahsibul ‘ulâ bihulâh,
qalladathâ nujûmahal jawza-u
(Inilah untaian nasab yang dengan berhias namanya menjadi tinggi,
laksana kecemerlangan bintang Aries di antara bintang-bintang yang membuntuti).
Habbadzâ ‘iqdu sûdadiw wa fakhâri,
anta fîhil yatimatul ‘ashma-u
(Betapa indah untaian yang sangat mulia dan membanggakan itu,
dengan dikau yang laksana liontin berkilau di dalamnya).
Rangkaian pembacaan Maulid biasanya dibuka dengan shalawat dan doa yang dirangkai dalam bentuk qashidah nan indah. Pembacaan Maulid Diba’ dan Barzanji, misalnya, selalu diawali dengan syair berikut:
Ya Rabbi shalli ‘alâ Muhammad
Ya Rabbi shalli ‘alaihi wa sallim
Ya Rabbi balligh-hul wasîlah
Ya Rabbi khush-shah bil fadhîlah
(Wahai Tuhan, tetapkanlah limpahan rahmat kepada Nabi Muhammad.
Wahai Tuhan, tetapkanlah limpahan rahmat dan kesejahteraan kepadanya.
Wahai Tuhan, sampaikanlah kepadanya sebagai perantara.
Wahai Tuhan, khususkanlah kepadanya dengan keutamaan).

Sedangkan Simthud Durar dibuka dengan syair:
Ya Rabbi shalli ‘alâ Muhammad
Mâ lâha fil ufuqi nûru kawkab
(Wahai Tuhan, selagi cahaya bintang gemintang masih gemerlapan di kaki langit,
tetapkanlah limpahan rahmat kepada Nabi Muhammad).
Seluruh ungkapan dalam Maulid memang disusun dengan bahasa sastra yang sangat tinggi. Dalam disiplin ilmu balaghah (paramasastra bahasa Arab), penyimbolan dan metafora (tasybih) dalam Maulid sudah masuk kategori baligh, tingkatan metafora tertinggi.
Qashidah lain yang sangat populer dan sangat baligh terdapat dalam Maulid Barzanji,
Anta syamsun anta badrun
Anta nurun fawqa nuri
(Engkaulah surya, engkaulah purnama.
(Engkau cahaya di atas cahaya)
Dalam tradisi sastra Arab, syair tersebut bernilai tinggi justru karena menghilangkan sebagian unsur kalimatnya. Jika dilengkapi – yang berarti menurunkan kualitasnya – kalimat tersebut bisa berbunyi…
Anta kasy-syamsi fi tanwiri qulubin nas
Anta kal badri fil taksyifi zhulamiz zamani
Anta fil anbiya-i ka nurun fawqa nuri
(Engkau laksana surya, dalam menyinari hati manusia.
Engkau laksana purnama, dalam menyingkap kegelapan masa.
Di antara para nabi, Engkau laksana cahaya di atas cahaya).
Keindahan lain juga terkandung dalam pengisahan proses penciptaan ruh Nabi Muhammad SAW, yang diyakini berasal dari pancaran cahaya Ilahi. Karena itulah bentuk awal penciptaan Rasulullah disebut nur Muhammad, yang diciptakan sebelum penciptaan alam semesta raya. Bahkan diceritakan oleh para ahli hikmah, karena Muhammad-lah Allah menciptakan alam semesta ini.
Syaikh Al-Barzanji melukiskannya dengan ungkapan Huwa akhirul anbiya-i bi shuratihi wa awwaluhum bi ma’nah (Beliau adalah nabi terakhir dalam wujud, namun nabi pertama secara maknawi). Sedangkan Dhiya-ul Lami’ menggambarkannya berupa dialog ketika Rasulullah ditanya oleh seseorang, “Sejak kapankah kenabianmu?” Beliau bersabda, “Kenabianku sejak Adam masih berupa air dan tanah.”
Masih tentang hal yang sama, Habib Ali Al-Habsyi dalam Simthud Durar mengutip hadits Abdurrazzaq dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari, bahwasanya ia pernah bertanya, “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang pertama diciptakan Allah sebelum yang lain.” Maka jawab Rasulullah, “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah telah menciptakan nur nabimu, Muhammad, dari nur-Nya sebelum menciptakan sesuatu yang lain.”
Penggambaran tentang penciptaan nur Muhammad ini dengan indah dilukiskan oleh kakek (alm.) Habib Anis, Solo, dengan ungkapan, “Pecahlah ‘telur’ penciptaan-Nya di alam mutlak yang tak berbatas ini. Menyingkap keindahan yang bisa disaksikan pandangan mata, mencakup segala kesempurnaan sifat keindahan dan keelokan. Dan berpindah-pindahlah ia dengan segala keberkahan, dalam sulbi-sulbi (punggung) dan rahim-rahim yang mulia. Tiada satu sulbi pun yang menyimpannya, kecuali beroleh nikmat Allah nan sempurna.”

Arsy Pun Berguncang
Sementara Maulid Diba’ menggambarkannya dengan lebih mendetail melalui periwayatan Sayyidina Abdullah bin Abbas RA. Dari Rasulullah SAW, beliau bersabda,“Sesungguhnya ada seorang Quraisy yang ketika itu masih berwujud cahaya (nur) di hadapan Allah, Yang Mahaperkasa dan Mahaagung, dua ribu tahun sebelum penciptaan Nabi Adam AS, yang selalu bertasbih kepada Allah. Dan bersamaan dengan tasbihnya, bertasbih pula para malaikat mengikutinya."
Ketika Allah akan menciptakan Adam, nur itu pun diletakkan di tanah liat asal kejadian Adam. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkannya ke bumi melalui punggung Nabi Adam dan Allah membawanya ke dalam kapal dalam tulang sulbi Nabi Nuh dan menjadikannya dalam tulang sulbi sang Kekasih, Nabi Ibrahim, ketika ia dilemparkan ke dalam api.
Tak henti-hentinya Allah, Yang Mahaperkasa dan Mahaagung, memindahkannya dari rangkaian tulang sulbi yang suci, kepada rahim yang suci dan megah, hingga akhirnya Allah melahirkannya melalui kedua orangtuanya yang sama sekali tidak pernah berbuat serong.”
Setiap tahapan penciptaan dan kelahiran Rasulullah memang sarat dengan keajaiban dan keluarbiasaan. Ketika Nabi masih dalam kandungan ibundanya, Aminah, Syaikh Ja’far Al-Barzanji melukiskan kesuburan yang mendadak mewarnai sekitar kota Mekah, dan hujan yang mendadak turun, setelah bertahun-tahun kemarau melanda tanah suci itu.
Berita tentang telah dekatnya kelahiran seorang calon nabi akhir zaman, rupanya telah sampai ke telinga para pendeta Yahudi dan Nasrani, juga para penyihir dan dukun. Tak mau kecolongan, mereka minta bantuan jin untuk mencuri dengar kabar dari langit. Namun, sejak kehamilan Aminah, segenap pintu langit telah dijaga ketat oleh para malaikat bersenjatakan panah berapi.
Dalam Maulid-nya, Habib Umar bin Hafidz menambahkan, “Dan ketika Aminah mengandung Nabi, ia tidak pernah merasa sakit sebagaimana lazimnya wanita yang tengah hamil.” Sementara Syaikh Abdurrahman Ad-Diba’i memilih penggambaran yang gempita dan agung, dengan sajak-sajak yang berakhiran huruf ra berharakat fathah.
Fahtazzal ‘arsyu tharaban was-tibsyâra
Waz-dâdal kursiyyu haibatan wa waqâra
Wam-tala-atis samâwâtu anwâra
wa dhaj-jatil mala-ikatu tahlîlan wa tanjîdan was-tighfâra
(Maka Arsy pun berguncang
penuh suka cita dan riang gembira.
(Sementara) Kursi Allah bertambah wibawa dan tenang.
Langit dipenuhi berjuta cahaya.
Dan bergemuruh suara malaikat membaca tahlil, tamjid (pengagungan Allah), dan istighfar.
Detik-detik kelahiran Nabi dilukiskan sebagai peristiwa luar biasa yang sarat kemukjizatan. Para penyusun Maulid pun berlomba mengabadikannya dengan rangkaian kalimat indah yang tak terhingga nilainya, misalnya untaian puisi dalam Maulid Diba’ seperti berikut:
Wa lam tazal ummuhû tarâ anwâ’an min fakhrihî wa fadhlihî,
ilâ nihâyati tamâmi hamlih
Falammâsy-tadda bihâth-thalqu bi-idzni rabbil khalqi,
wadha’atil habîba shallallâhu ‘alaihi wa sallama sâjidan syâkiran hâmidan ka-annahul badru fî tamâmih
(Dan sang ibunda tiada henti melihat bermacam tanda kemegahan dan keistimewaan sang janin,
hingga sempurnalah masa kandungannya.
Maka ketika sang bunda telah merasa kesakitan,
dengan izin Tuhan, Sang Pencipta makhluk, lahirlah kekasih Allah, Muhammad SAW,
dalam keadaan sujud, bersyukur, dan memuji,
dengan wajah yang sempurna, laksana purnama).

Sementara Simthud Durar menggambarkannya dengan untaian kalimat yang tak kurang indah…
“Maka dengan taufik Allah,
hadirlah Sayyidah Maryam dan Sayyidah Asiyah,
yang diiringi bidadari-bidadari surga
yang beroleh kemuliaan agung
yang dibagi-bagikan Allah
atas mereka yang dikehendaki
Dan tibalah saat yang tlah direncanakan Allah
bagi kelahiran ini
Menyingsinglah fajar keutamaan nan cerah
Terang benderang menjulang tinggi
Dan terlahirlah insan nan terpuji
Tunduk khusyu’ di hadapan Allah
Terang benderang menjulang tinggi…..”
Dalam Maulid-maulid itu juga diriwayatkan, Rasulullah SAW dilahirkan dalam keadaan telah terkhitan, mata beliau indah bercelak, tali pusarnya telah bersih terpotong – berkat kuasa kodrat Ilahi.
Habib Ali juga menukil periwayatan Abdurahman bin Auf, yang bersumber dari pengalaman ibu kandungnya, Syaffa’, yang berkisah, “Pada saat Rasulullah SAW dilahirkan oleh Aminah, ia kusambut dengan kedua telapak tanganku. Dan terdengar tangisnya pertama kali. Lalu kudengar suara, ‘Semoga rahmat Allah atasmu.’ Dan aku pun menyaksikan cahaya benderang di hadapannya, menerangi timur dan barat, hingga aku dapat melihat sebagian gedung-gedung Romawi.”
Cerita kehadiran Sayyidah Maryam (ibunda Nabi Isa AS) dan Sayyidah Asiyah (istri Firaun yang juga ibu angkat Nabi Musa) saat kelahiran Rasulullah SAW, dikisahkan dalam Maulid Barzanji. Dilukiskan pula berbagai peristiwa ganjil yang menghiasi malam kelahiran beliau, seperti retaknya Istana Kerajaan Persia, banjir bandang yang melanda Lembah Samawah di Gurun Sahara, padahal sebelumnya belum pernah ditemukan air setetes pun; serta cahaya terang benderang di atas kota Makkah dan sekitarnya.
Lebih lanjut Al-Barzanji juga menceritakan kondisi bayi Muhammad sesaat setelah kelahirannya, “Nabi lahir ke dunia dalam keadaan meletakkan kedua tangannya ke bumi seraya menengadahkan wajahnya ke arah langit yang tinggi sebagai penanda ketinggian kedudukannya dan keluhuran budinya.”
Demikianlah berbagai ungkapan keindahan pada detik-detik kelahiran Rasulullah SAW dalam puisi Maulid karya ulama saleh dari zaman ke zaman. Meski tiada kata yang cukup mewakili untuk menggambarkan keluhurannya, dengan segala keterbatasannya para ulama penyair itu berusaha merangkumnya dalam serangkaian puisi indah.
Betapa beruntung orang-orang yang mencintainya dengan cara apa pun, sebagaimana ungkapan Imam Bushairi dalam Maulid Burdah-nya, “Dialah sosok yang sempurna makna dan bentuknya, yang kemudian dipilih menjadi kekasih Sang Penghembus Angin Sepoi. Pengungkapan kebaikannya terjaga dari kemusyrikan, maka mutiara keindahannya tak terbagi. Tinggalkanlah apa yang dikatakan kaum Nasrani tentang nabinya, dan pujilah ia (Rasulullah) semaumu asal masih dalam batasan hukum itu. Maka nisbatkanlah kemuliaan dan keagungan apa pun yang kau kehendaki kepadanya.”
Rasulullah SAW memang manusia biasa, namun beliau telah dipilih oleh Allah SWT untuk dianugerahi berbagai keistimewaan, yang menjadikan posisi beliau di antara umat manusia bak permata di antara bebatuan semata….
Sumber: qomarfauzie.wordpress.com

Memperbanyak makanan yang sedikit


Minggu, 06 Desember 2009 10:12
Peristiwa mukjizat yang terjadi di masa perang Khandaq (di sebut juga perang ahzab) ini diberitakan oleh Jabir bin Abdullah r.a yang menuturkan sebagai berikut.
Dalam siaga menghadapi serbuan kaum musyrikin dari Mekah, kaum muslimin di Madinah tidak mempunyai cukup perbekalan. Ia (Jabir r.a) pulang ke rumah sebentar untuk bertanya kepada istrinya apakah masih mempunyai sesuatu untuk di makan? Ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw dalam keadaan sangat lapar. Istrinya lalu mengambil kantong berisi satu sha (3 kg) untuk di giling dan dimasak menjadi roti. Sedangkan Jabir sendiri memotong kambingnya yang masih kecil, lalu dagingnya dimasukkan ke dalam kuali agar di masak oleh istrinya sambil membuat roti. Kemudian Jabir kembali lagi ke tengah pasukan muslimin yang sedang menggali parit (Khandaq) pertahanan. Ia memberitahu apa yang sedang dikerjakan oleh istrinya kepada Rasulullah Saw, lalu mempersilahkan beliau makan di rumahnya, bersama beberapa sahabat yang sudah tidak dapat menahan lapar. Mendengar itu Rasulullah Saw tampak sangat gembira, lalu berseru memanggil pasukan,"Hai ahl al khandaq, Jabir menyediakan makanan! mari kita datang ke rumahnya untuk makan bersama-sama!" Kepada Jabir beliau berpesan,"Kuali (panci) jangan engkau turunkan dari tungku dan adonan terigu pun jangan engkau keluarkan dari pemanggangan nya sebelum aku datang!"
Istri Jabir r.a memperlihatkan adonan terigu yang masih didalam pemanggangan nya dan daging kambing yang masih berada didalam panci itu kepada Rasulullah. Rasulullah Saw kemudian membuka tutup panci dan pemanggangan, lalu meniup dua jenis makanan yang hampir masak itu. Lalu beliau berkata kepada istri Jabir r.a,"Biarkan saja roti dan daging itu ditempatnya. Banyak sekali orang yang hendak turut makan bersama."
Beratus-ratus orang datang ke rumah Jabir. Semua nya lapar dan hendak makan bersama-sama. Betapa khawatirnya Jabir dan istrinya karena persediaan makanan tentu tidak akan cukup. Akan tetapi, setelah makanan dihidangkan dan mereka makan bersama, ternyata semuanya dapat makan hingga kenyang. Mereka sendiri keheran-heranan menyaksikan hidangan yang di makan beramai-ramai itu tak kunjung habis.
Di dalam penuturannya, Jabir r.a mengatakan,"Demi Allah, semua orang dapat makan hingga kenyang, bahkan setelah mereka kembali bekerja menggali parit, aku lihat persediaan roti dan daging masih utuh."

Kijang minta pertolongan Nabi Saw alt=Cetak v:shapes="_x0000_i1031">


Jumat, 04 Desember 2009 21:31
Banyak Imam ahli hadis yang mengetengahkan berita riwayat tentang seekor kijang yang dapat berbicara kepada Rasulullah Saw, sebagai peristiwa mukjizat. Hadits semakna yang dituturkan oleh Ummul mukminin, Umm Salamah r.a adalah sebagai berikut: Ketika Rasulullah Saw sedang berada di tengah sahara beliau mendengar suara memanggil-manggil, "Ya Rasulullah!" hingga tiga kali. Beliau menoleh ke arah datangnya suara itu. Beliau melihat seekor kijang tertambat pada sebuah batu besar. Di sebelahnya seorang Arab pegunungan dalam keadaan tidur nyenyak, telentang di bawah sinar matahari. Kepada kijang itu Rasulullah Saw bertanya,"Apa keperluanmu memanggil-manggil ?" Kijang menjawab,"Orang yang tidur itu memburuku dan menangkapku, sedangkan aku mempunyai dua ekor anak di atas bukit itu. Tolonglah lepaskan aku agar aku dapat menyusui anak-anakku. Setelah itu aku akan kembali lagi ke tempat ini." Rasulullah Saw bertanya,"Benarkah engkau akan berbuat seperti itu?" Kijang menjawab,"Allah akan menimpakan hukuman berat atas diriku jika aku tidak kembali lagi ke tempat ini."
Rasulullah Saw melepaskan kijang itu dan membiarkannya pergi untuk menyusui anak-anaknya. Beberapa lama kemudian kijang itu benar-benar kembali. Rasulullah Saw menambatkan kembali seperti semula. Tidak lama setelah itu, si pemburu bangun dari tidurnya. Melihat Rasulullah Saw berada di dekatnya si pemburu bertanya,"Ada perlu apa Anda datang kemari?" Beliau menjawab,"Ku minta engkau mau melepaskan kijang ini." Tanpa banyak berpikir lagi si pemburu memenuhi permintaan Rasulullah Saw. Setelah di lepas oleh si pemburu, kijang itu lari kencang meloncat-loncat kegirangan di padang pasir sambil terus berkata,"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Alllah, dan Anda adalah utusan Allah."
Peristiwa mukjizat tersebut terjadi di Madinah, yakni setelah Rasulullah Saw hijrah meninggalkan Makkah
Batang pohon berjalan mendekati Rasulullah saw


Imam Ahmad bin Hambal mengetengahkan sebuah hadis berasal dari Thalhah bin Nafi' yang menuturkan sebagai berikut: Pada suatu hari, Malaikat Jibril a.s datang kepada Rasulullah Saw, pada saat itu beliau sedang duduk bersedih hati. Bagian tubuhnya tampak berlumuran darah akibat serangan seorang dari kaum musyrikin mekah. Kepada beliau malaikat jibril bertanya,"Ya Rasulullah, Anda kenapa?" Beliau menjawab, bahwa baru saja seorang musyrik menyerang beliau. Jibril bertanya lagi,"Maukah anda jika aku perlihatkan kepada anda suatu tanda yang membuktikan kenabian Anda?" Beliau menjawab,"Baiklah." Pada saat Rasulullah Saw sedang memandang sebatang pohon di seberang lembah, Jibril berkata,"Panggillah pohon itu!" Seketika itu juga pohon yang di panggil berjalan hingga tiba di hadapan Rasulullah Saw. Malaikat Jibril lalu berkata lagi,"Suruhlah dia kembali ke tempatnya." Beliau lalu menyuruh pohon itu kembali ke tempat semula. Kemudian pohon itu bergerak dan berjalan pulang ke tempatnya. Saat itu Rasulullah Saw berkata kepada malaikat Jibril,"Cukup, itu cukup bagiku."
Batang kayu mengeluh dan merintih



Mengenai peristiwa mukjizat ini Imam Syafi'i r.a mengatakan, bahwa Allah Swt menganugerahkan kepada Nabi kita, mukjizat yang tidak pernah dianugerahkan kepada para nabi sebelum beliau. Kepada Nabi Isa a.s Allah menganugerahkan mukjizat menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Kepada Nabi Muhammad Saw Allah menganugerahkan mukjizat lebih besar, yaitu mukjizat berupa sebatang pokok kayu dapat mengeluh dan merintih di-hadapan beliau.
Sebagaimana di-ketahui, tiang-tiang masjid Nabawi di Madinah terbuat dari batang-batang pohon kurma. Di antara sejumlah batang kayu yang ada di tempat itu di ambil beberapa batang untuk dijadikan mimbar, tempat Rasulullah berkhutbah. Pada sutu hari ketika hendak berkhutbah, beliau naik ke atas batang kayu yang dijadikan mimbar. Tiba-tiba, kayu yang beliau injak terbelah-belah dan menjerit (sementara riwayat lain merintih dan mengeluh). Rasulullah Saw segera turun, kemudian beliau menggabungkan belahan yang satu dengan belahan yang lain. Saat itulah belahan-belahan kayu pada merintih dan mengeluh seperti anak kecil. Mendengar suara itu, Rasulullah Saw berucap,"Demi Dia yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalau ia (batang kayu itu) tidak ku minta supaya diam, niscaya ia akan terus merintih hingga hari kiamat." Kemudian beliau menyuruh beberapa orang sahabat supaya mengubur batang kayu yang sudah patah terbelah-belah itu.
Al Baghwi mengatakan, pada waktu Al Hasan bin Ali r.a membicarakan peristiwa mukjizat tersebut, ia menangis tersedu-sedu. Kemudian ia berkata kepada orang-orang yang hadir,"Hai para hamba Allah, kayu pun merintih dan mengeluh karena ingin menyertai Rasulullah Saw, pada kedudukannya di sisi Allah. Sebenarnya kalianlah yang lebih berhak merindukan hal itu.
Peristiwa mukjizat tersebut terjadi di Madinah.

Terbelahnya bulan



Di zaman Jahilliyah hiduplah raja bernama Habib bin Malik di Syam, Dia penyembah berhala yang fanatik dan menentang serta membenci agama yang didakwahkan Rasulullah saw.
Suatu hari Abu Jahal menyurati Raja Habib bin Malik perihal Rasulullah. Surat itu membuatnya penasaran dan ingin bertemu dengan Rasulullah dan membalas surat itu Ia akan berkunjung ke Mekah.
Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah Ia dengan 10.000 orang ke Mekah. Sampai di Desa Abtah, dekat Mekah, Ia mengirim utusan untuk memberitahu Abu Jahal bahwa Dia telah tiba di perbatasan Mekah. Maka disambutlah Raja Habib oleh Abu Jahal dan pembesar Quraisy.
"Seperti apa sih Muhammad itu?" tanya Raja Habib setelah bertemu dengan Abu Jahal. "Sebaiknya Tuan tanyakan kepada Bani Haasyim," jawab Abu Jahal. Lalu Raja Habib menanyakan kepada Bani Hasyim.
"Di masa kecilnya, Muhammad adalah anak yang bisa di percaya, jujur, dan baik budi. Tapi, sejak berusia 40 tahun, Ia mulai menyebarkan agama baru, menghina dan menyepelekan tuhan-tuhan kami. Ia menyebarkan agama yang bertentangan dengan agama warisan nenek moyang kami," jawab salah seorang keluarga Bani Hasyim.
Raja Habib memerintahkan untuk menjemput Rasulullah dan menyuruh untuk memaksa bila Ia tidak mau datang.
Dengan menggunakan jubah merah dan sorban hitam, Rasulullah saw datang bersama Abu Bakar As Siddiq dan Khadijah. Sepanjang jalan Khadijah menangis karena khawatir akan keselamatan suaminya, demikian pula Abu Bakar. "Kalian jangan takut, kita serahkan semua urusan kepada Allah swt," Kata Rasulullah saw.
Sampai di Desa Abthah, Rasulullah saw di sambut dengan ramah dan dipersilahkan duduk di kursi yang terbuat dari emas. Ketika Rasulullah saw duduk di kursi tersebut, memancarlah cahaya kemilau dari wajahnya yang berwibawa, sehingga yang menyaksikannya tertegun dan kagum
Maka berkata Raja Habib,"Wahai Muhammad setiap Nabi memiliki mukjizat, mukjizat apa yang Engkau miliki?"
Dengan tenang Rasulullah balik bertanya,"Mukjizat apa yang Tuan kehendaki?"
"Aku menghendaki matahari yang tengah bersinar engkau tenggelamkan, kemudian munculkanlah bulan. Lalu turunkanlah bulan ke tanganmu, belah menjadi dua bagian, dan masukkan masing-masing ke lengan bajumu sebelah kiri dan kanan. Kemudian keluarkan lagi dan satukan lagi. Lalu suruhlah bulan mengakui engkau adalah Rasul. Setelah itu kembalikan bulan itu ke tempatnya semula. Jika engkau dapat melakukannya, aku akan beriman kepadamu dan mengakui kenabianmu," Kata Raja Habib.
Mendengar itu Abu Jahal sangat gembira, pasti Rasulullah tidak dapat melakukannya.
Dengan tegas dan yakin Rasulullah saw menjawab, "Aku penuhi permintaan Tuan."
Kemudian Rasulullah saw berjalan ke arah Gunung Abi Qubaisy dan shalat dua rakaat. Usai shalat, Beliau berdoa dengan menengadahkan tangan tinggi-tinggi, agar permintaan Raja Habib terpenuhi. Seketika itu juga tanpa diketahui oleh siapapun juga turunlah 12.000 malaikat.
Maka berkatalah malaikat,"Wahai Rasulullah, Allah menyampaikan salam kepadamu. Allah berfirman,'Wahai kekasih-Ku, janganlah engkau takut dan ragu. Sesunguhnya Aku senantiasa bersamamu. Aku telah menetapkan keputusan-Ku sejak Zaman Azali.' Tentang permintaan Habib bin Malik, pergilah engkau kepadanya untuk membuktikan kerasulanmu. Sesungguhnya Allah yang menjalankan matahari dan bulan serta mengganti siang dengan malam. Habib bin Malik mempunyai seorang putri cacat, tidak punya kaki dan tangan serta buta. Allah telah menyembuhkan anak itu, sehingga ia bisa berjalan, meraba dan melihat."
Lalu bergegaslah Rasulullah turun menjumpai orang kafir, sementara bias cahaya kenabian yang memantul dari wajahnya semakin bersinar. Waktu itu matahari telah beranjak senja. Matahari hampir tenggelam, sehingga suasananya remang-remang.. Tak lama kemudian Rasulullah saw berdoa agar bulan segera terbit. Maka terbitlah bulan dengan sinar yang benderang.
Lalu dengan dua jari Rasulullah mengisyaratkan agar bulan itu turun kepadanya. Tiba-tiba suasana jadi amat menegangkan ketika terdengar suara gemuruh yang dahsyat. Segumpal awan mengiringi turunnya bulan ke tangan Rasulullah. Segera setelah itu Beliau membelahnya menjadi dua bagian, lalu Beliau masukkan ke lengan baju kanan dan kiri.
Tidak lama kemudian, Beliau mengeluarkan potongan bulan itu dan menyatukannya kembali. Dengan sangat takjub orang-orang menyaksikan Rasulullah saw menggengam bulan yang bersinar dengan indah dan cemerlang. Bersamaan dengan itu bulan mengeluarkan suara,"Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh."
Menyaksikan keajaiban itu, pikiran dan perasaan semua yang hadir terguncag. Sungguh, ini bukan mimpi, melainkan sebuah kejadian yang nyata! Sebuah mukjizat luar biasa hebat yang disaksikan sendiri oleh Raja Habib bin Malik. Ia menyadari, itu tak mungkin terjadi pada manusia biasa, meski ia lihai dalam ilmu sihir sekalipun!
Namun, hati Raja Habib masih beku. Maka ia pun berkata,"Aku masih mempunyai syarat lagi untuk mengujimu."
Belum lagi Raja Habib sempat melanjutkan ucapannya, Rasulullah memotong pembicaraan,"Engkau mempunyai putri yang cacat, bukan? Sekarang, Allah telah menyembuhkannya dan menjadikannya seorang putri yang sempurna."
Mendengar itu, betapa gembiranya hati Raja Habib. Spontan ia pun berdiri dan berseru,"Hai penduduk Mekah! Kalian yang telah beriman jangan kembali kafir, karena tidak ada lagi yang perlu diragukan. Ketahuilah, sesungguhnya aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah dan tiada sekutu baginya; dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah Utusan dan hamba-Nya!"
Melihat semua itu Abu Jahal jengkel dan marah, dengan emosi berkata kepada Raja Habib,"Wahai! Raja Habib engkau beriman kepada tukang sihir ini, hanya karena menyaksikan kehebatan sihirnya?" Namun Raja Habib tidak menghiraukannya dan berkemas untuk pulang.
Sampai di pintu gerbang istana, putrinya yang sudah sempurna, menyambutnya. sambil mengucapkan dua kalimat sahadat. Tentu saja Raja Habib terkejut. "Wahai putriku, darimana kamu mengetahui ucapan itu? Siapa yang mengajarimu?"
"Aku bermimpi didatangi seorang lelaki tampan rupawan yang memberi tahu ayah telah memeluk Islam. Dia juga berkata, jika aku menjadi muslimah, anggota tubuhku akan lengkap. Tentu saja aku mau, kemudian aku mengucapkan dua kalimat sahadat," jawab sang putri. Maka seketika itu juga Raja Habib pun bersujudlah sebagai tanda syukur kepada Allah swt.
"Sungguh, telah dekat hari kiamat, dan telah terbelah bulan, dan ketika melihat tanda-tanda kebesaran Kami, merekapun ingkar lagi berpaling seraya berkata, "Ini adalah sihir yang terus-menerus", dan mereka mendustakannya, bahkan mengikuti hawa nafsu mereka. Dan setiap urusan benar-benar telah tetap ...." sampai akhir surat Al-Qamar

No comments:

Post a Comment