Tuesday, 3 June 2014

Peran Wanita dalam Keuangan Keluarga



Salah satu karakteristik sekaligus prinsip yang diusung oleh Islam adalah egalitarianisme: kesetaraan sesama manusia di hadapan-Nya, tanpa memedulikan gender, suku dan keturunan. Perbedaan yang meninggikan dan merendahkan seseorang hanyalah dari tingkat ketakwaan dan amal saleh (QS al-Hujurāt/49: 13 dan QS an-Nahl/16: 97.)
Islam mengajarkan bahwa setiap manusia adalah pemimpin, hanya saja dengan skala wilayah dan otoritas yang berbeda antara satu sama lain. Nabi SAW bersabda,


كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ

فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya; seorang pria adalah pemimpin di keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya; seorang wanita adalah pemimpin terhadap (urusan) rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR al-Bukhāri dalam Shahīh-nya I/304/853 dan Muslim dalam dalam Shahīh-nya III/1549/1829.)
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya pria dan wanita itu memiliki perbedaan, khususnya dalam hal struktur biologis dan karakter. Perbedaan ini dimaksudkan agar masing-masing dapat berperan sesuai dengan kodratnya, sehingga satu sama lain saling melengkapi. Jika tiap individu mengambil peran yang sama, maka tentu akan terbentuk masyarakat yang ‘cacat’. Dalam struktur masyarakat atau organisasi, misalnya, tidak mungkin seluruh partisipannya menjadi pemimpin; pasti ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Ini adalah sunnatullāh.
Dalam hal keluarga, Islam memberikan otoritas kepada lelaki untuk menjadi kepala keluarga, sebagaimana hadits di atas (dan juga QS al-Nisā’/4: 34). Kepemimpinan ini mewajibkan lelaki untuk antara lain bertanggung jawab dalam hal pemenuhan nafkah keluarga. Namun, kepemimpinan ini tidaklah mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, khususnya dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya. Hadits di atas menyebutkan bahwa salah satu tanggung jawab wanita adalah mengelola rumah suaminya, termasuk pengelolaan keuangan keluarga.
Selanjutnya, jika kita menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Wanita diperkenankan bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, selama pekerjaan itu: (1) tidak bertentangan dengan kodratnya; (2) tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh agama; dan (3) tidak membuatnya lalai dari tugas utamanya dalam keluarga;
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa “perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan/atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”.
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi SAW cukup beraneka ragam, bahkan mereka sampai ikut berpartisipasi dalam peperangan. Ummu Salamah (istri Nabi SAW), Shāfiyyah, Lailā al-Ghiffāriyyah, Ummu Sinām, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Para ahli hadis, misalnya al-Bukhāri, mencatat dalam kitab Shahīh-nya sejumlah bab yang menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.
Dalam bidang perdagangan, misalnya, nama istri Nabi SAW yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Istri Nabi SAW yang lain, Zainab binti Jahsy, juga bekerja menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Rāithah, istri `Abdullāh ibn Mas’ūd, sahabat Nabi SAW, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Selain itu, ada pula yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Sālim binti Malhān. Khalīfah `Umar ibn al-Khaththāb RA pernah menugaskan al-Syifā’, seorang perempuan yang pandai menulis, untuk menangani pasar kota Madinah. Masih banyak contoh-contoh lain dalam sejarah Islam yang menegaskan bahwa wanita pada masa awal Islam diberi keleluasaan untuk bekerja dan mencari nafkah dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Wallāhu a`lam bish-shawāb.*
*) Dari berbagai sumber.

No comments:

Post a Comment