Apa yang akan terjadi di masa depan memang tidak dapat kita ketahui dengan pasti. “Sesungguhnya (Dialah) Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dihasilkannya besok. Dan, tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Luqmān/31: 34.) Namun demikian, kita diperintahkan untuk membuat perencanaan yang baik guna mengantisipasi apa yang akan terjadi. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah ia sajikan untuk hari esok; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr/59: 18.)
Menabung adalah salah satu bentuk perencanaan dan tindakan antisipatif terhadap kondisi yang tidak diharapkan di masa depan. Quran memberikan endorsement terhadap tindakan menabung melalui kisah Nabi Yusuf AS: “Yusuf berkata: ‘Supaya kamu bercocok tanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.’” (QS Yūsuf/12: 47-48.)
Islam menganjurkan agar seseorang itu mempersiapkan bekal yang cukup bagi keluarganya sebelum ia meninggal dunia. Ini mengandung pesan implisit tentang urgensi menabung. Nabi SAW bersabda kepada Sa`d ibn Abī Waqqāsh,
إِنَّكَ إِنْ تَدَعُ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ فِي أَيْدِيْهِمْ
“Sungguh, engkau meninggalkan ahli warismu dalam kondisi kaya itu lebih baik dibandingkan engkau meninggalkan mereka dalam kondisi miskin yang membutuhkan bantuan uluran tangan manusia.” (HR al-Bukhāri dalam Shahīh-nya III/106/2591 dan Muslim dalam Shahīh-nya III/1250/1628.)
Menabung merupakan kutub yang berseberangan secara diametral sekaligus penyeimbang terhadap sedekah. Tidak dipungkiri bahwa menabung merupakan bagian dari tindakan menahan harta. Sedangkan, pada prinsipnya, tindakan menahan harta merupakan hal yang dikecam oleh agama, berbeda dengan sedekah yang agama menganjurkannya. Banyak sekali teks keagamaan yang berbicara mengenai hal tersebut, di antaranya adalah sabda Nabi SAW:
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Tidak ada satu hari pun yang dilalui oleh seorang hamba melainkan pada pagi harinya dua malaikat turun kepadanya. Salah satunya berkata: ‘Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang bersedekah.’ Sementara yang lainnya berkata: “Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang menahan hartanya.’” (HR al-Bukhāri dalam Shahīh-nya II/522/1374 dan Muslim dalam Shahīh-nya II/700/1010.)
Dengan demikian, teks-teks keagamaan yang berbicara tentang masalah sedekah dan menabung—sebagaimana telah disebutkan sebagiannya di atas—harus didudukkan secara komprehensif dan proporsional. Sedekah secara berlebihan dan dengan tanpa skala prioritas juga tidak dianjurkan. Quran mengajarkan agar seseorang tidak kikir, dan demikian juga sebaliknya, Quran juga mengajarkan agar seseorang tidak terlalu pemurah. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu pemurah), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS al-Isrā’/17: 29.)
Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan. Ini adalah prinsip universal (universal value) yang berlaku secara umum. Karena itu, seorang yang beriman diminta untuk mengambil posisi yang tepat dalam hal ini, yaitu berada di antara tindakan menabung dan sedekah. Ia menabung sebagai bentuk perencanaan terhadap masa depan dirinya dan keluarganya di satu sisi, namun ia juga bersedekah sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap lingkungan sosial di sisi yang lain. Tidak ada yang kontradiktif. Keduanya dapat dilakukan secara simultan. WaLlāhu a`lam bish shawāb.
No comments:
Post a Comment