Tuesday, 3 June 2014

SEMANGAT


Sesungguhnya bagi jiwa terdapat masa yang penuh dengan semangat dan gairah, namun juga terdapat saat kelesuan dan keletihan. Kedua kutub berseberangan tersebut secara fluktuatif berjalan saling membayangi satu sama lain bagaikan dua sisi jungkat jungkit. Tidaklah salah satu naik, melainkan yang lain pasti turun. Tidaklah salah satu timbul, melainkan yang lain tenggelam.
Semangat adalah air yang mengaliri akar kehidupan, sekaligus api yang menggerakkan roda kompetisi. Ia juga laksana arakan awan yang apabila terkumpul menurunkan butiran hujan, namun dapat berpendar hilang oleh sapuan angin. Semangat bisa habis dan sirna, namun dapat dimunculkan kembali dengan menghadirkan faktor-faktor pemicunya, yang dapat berupa benefit, ganjaran, kedudukan dan lain-lain.
Seorang Mukmin seharusnya tetap menjaga semangat dalam hal-hal yang positif. Nabi s.a.w. bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ، احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِزْ
“Seorang Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah. Meskipun pada keduanya terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap segala hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah.” [Riwayat Muslim dalam Shahīh-nya IV/2052/2664.]
Setidaknya terdapat dua hal yang harus menyertai semangat seorang Mukmin, yaitu ilmu yang benar dan tindakan yang nyata. Sekedar semangat tanpa direalisasikan oleh tindakan nyata bagaikan tanaman yang tidak berbuah. Adapun ketiadaan ilmu adalah ibarat kapal berlayar tanpa arah, bisa jadi sampai ke tujuan yang dimaui, namun bisa jadi terhempas karang sehingga menjadi puing-puing di lautan. Disebabkan ketiadaan ilmu, berapa banyak hal-hal yang disangka sebagai kebaikan padahal tidak demikian adanya. Merasa memperbaiki, padahal sebenarnya merusak tanpa disadari. Ibn Mas`ūd r.a. berkata, “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak mendapatinya.” [Riwayat ad-Dārimi dalam Sunan-nya I/79/204.]
Setiap orang besar pasti memiliki modal cita-cita dan semangat yang besar. Meskipun secara realitas, tidak berlaku konsekuensi kebalikan dalam hal ini. Setiap Mukmin diajarkan untuk memiliki semangat menjadi orang besar—tentunya yang sejalan dengan perspektif Islam, dan bukan perspektif materialisme dan duniawi. Mereka juga didorong untuk meraih terbaik yang mungkin dicapai. Karena itulah al-Qur’an mengajari kita berdoa untuk dijadikan imam/pimpinan bagi orang-orang yang bertaqwa [QS. Al-Furqān: 74]. Jadi, bukan sekedar orang yang bertaqwa, tapi pimpinan kaum yang bertaqwa. Nabi s.a.w. juga mengajarkan agar kita meminta Firdaus, yang merupakan surga tertinggi sekaligus pertengahannya, dan di atasnya adalah `Arsy Allah [riwayat al-Bukhāri III/1028/2637 dan lain-lain]. Jadi, tidak sebatas surga, namun surga yang paling baik.
Mereka yang memiliki semangat dan cita-cita yang besar tidak akan rela dengan hal-hal yang rendah dan fana. Mereka concern dengan hal-hal yang besar dan lebih kekal. Semakin tinggi kondisi kejiwaan yang dimiliki seseorang, maka ia akan mencari hal yang lebih tinggi. `Umar ibn `Abd al-`Aziz, seorang khalīfah (jabatan tertinggi dalam sistem pemerintahan Islam) yang shalih dari Banī Umayyah, bertutur tentang dirinya, “Saya memiliki jiwa yang penuh hasrat dan ambisi (nafs tawwāqah). Tidaklah saya mendapatkan apa yang saya inginkan, melainkan saya berambisi untuk mendapatkan yang lebih baik darinya. Saya dahulu berhasrat pada kekuasaan, dan saya pun kemudian berhasil jadi gubernur Madinah. Lalu saya berhasrat menjadi khalīfah, dan ketika hal itu terealisasikan, pada akhirnya saya berhasrat pada yang jauh lebih baik dari semua itu, yaitu surga.” [Lihat Hilyah al-Auliyā’ V/331-332 dan al-Mudhisy hlm. 228.]
Semangat yang tinggi akan menumbuhkan kerja keras yang luar biasa dan melelahkan. Seorang penyair Arab, al-Mutanabbi, berkata dalam syairnya,
وَإِذَا كَانَت النُّفُوْسُ كِبَارًا
تَعِبَتْ فِي مُرَادِهَا الْأَجْسَامُ
Dan sekiranya jiwa itu besar,
niscaya tubuh itu lelah dalam mencapai maksudnya. [Khizānah al-Adab, I/251.]
Semangat, ilmu dan kerja keras untuk mencapai tujuan yang paling besar, yaitu keridhaan-Nya (termasuk di dalamnya surga dengan segala kenikmatannya), tentu bukan semata-mata termanifestasikan dalam ibadah ritual semata. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah ibadah sosial kemasyarakatan, dalam rangka menjalankan fungsi manusia sebagai pemakmur bumi Allah (khalīfah fi’l ardh). Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang populer, bahwa Nabi s.a.w. bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.” [Riwayat ath-Thabrani dalam al-Ausath VI/58 dan lain-lain, dengan sanad yang valid.]
Usia dan Karya
Apalah artinya usia. Ia tidak lebih dari sekedar bilangan, dan bukan representasi dari suatu keistimewaan. Ia hanyalah penunjuk jumlah hari yang dilewati seorang manusia dalam menemani bumi mengitari matahari.
Islam tidak mengajarkan pengkultusan usia. Kecuali perintah bagi yang muda untuk menghormati yang lebih tua, selaras dengan tradisi etika yang pada umumnya berlaku. Usia yang dihargai dalam Islam hanyalah yang diproduktifkan serta menjadi wadah bagi kinerja dan karya. Sebab Islam menghargai prestasi dan bukan prestise. Singkatnya, ajaran Islam memposisikan parameter profesionalitas jauh di atas senioritas semata. Inilah yang Nabi s.a.w. contohkan dalam membina generasi awal kaum Muslim.
Pada tahun ke-11 Hijriah, setelah haji wadā` (perpisahan), Nabi s.a.w. mengangkat Usāmah ibn Zaid, yang ketika itu usianya belum genap 20 tahun untuk memimpin pasukan kaum Muslim melakukan ekspansi ke wilayah Syām yang berada di bawah cengkraman imperium Romawi. Padahal di kalangan kaum Muslim terdapat banyak sahabat utama Nabi s.a.w. yang jauh lebih senior ketimbang Usāmah.
Namun, ketika pasukan melakukan persiapan keberangkatan, Nabi s.a.w. mengalami sakit keras yang berujung kepada kematian beliau. Keberangkatan pasukan pun tertunda.
Tak lama setelah wafatnya Nabi s.a.w., Abu Bakr ash-Shiddīq r.a. didaulat menjadi Khalīfah, dan beliau pun meneruskan apa yang telah dimulai oleh Nabi s.a.w., yaitu memberangkatkan Usamāh dan pasukannya menghadapi Romawi.
Masih dalam suasana duka dan penurunan stabilitas karena wafatnya Nabi s.a.w., sebagian kalangan Anshār menilai bahwa saat itu bukanlah momen yang tepat untuk keberangkatan pasukan. Mereka lalu meminta `Umar r.a. untuk membicarakan hal tersebut kepada Abū Bakr. Mereka mengajukan dua usulan, yaitu penundaan keberangkatan pasukan, atau jika tidak, maka mereka meminta agar pimpinan pasukan digantikan oleh sahabat yang lebih senior daripada Usāmah, dengan alasan bahwa usianya terlalu muda dan pengalamannya belum banyak.
`Umar lalu menyampaikan usulan dimaksud kepada Abū Bakr. Mendengar hal itu, Abū Bakr marah dan berkata, “Celaka engkau wahai Ibn al-Khaththāb! Adalah Nabi s.a.w. yang mengangkatnya sebagai pimpinan pasukan, lantas engkau meminta kepadaku agar mencopotnya?! Demi Allah, aku tidak akan menyelisihi pesan dan perintah Nabi s.a.w.” `Umar pun menyesali usulan tersebut.
Tentu Nabi s.a.w. tidak menunjuk Usāmah ibn Zaid dengan tanpa alasan. Disebabkan potensi Usāmah, berupa integritas dan kompetensi, maka Nabi s.a.w. memilihnya sebagai komandan pasukan di usianya yang masih sangat muda. Pilihan Nabi s.a.w. ternyata sangatlah tepat. Terbukti bahwa Usāmah dan pasukannya memperoleh kemenangan yang gemilang dalam peperangan melawan imperium adidaya Romawi. Sampai-sampai dikatakan bahwa tidak ada pasukan yang lebih selamat dan lebih banyak mendapatkan ghanīmah (harta perang) dibandingkan pasukan Usāmah. [Lihat Shuwar min Hayah ash-Shahābah, hlm. 226-228.]
Penggalan sejarah di atas menunjukkan bahwa Islam mengeleminir sistem senioritas yang berbasiskan usia semata, dan menggantinya dengan profesionalitas yang berbasiskan integritas dan kompetensi untuk berkarya serta menyelesaikan amanah dengan baik. Masih banyak contoh serupa yang menghiasai lembaran sejarah peradaban Islam, namun kiranya bukan di sini tempat untuk memaparkan hal tersebut.
Namun demikian, bukan berarti usia dan senioritas sama sekali dinihilkan dalam ajaran Islam, hanya saja parameter tersebut jauh dibelakangkan dibandingkan profesionalitas. Untuk menjadi imam shalat, misalnya, apabila terdapat beberapa kandidat imam yang memiliki kompetensi dan integritas yang setara, maka yang berhak diangkat menjadi imam adalah yang paling senior, yaitu dari sisi hijrah dan selanjutnya dari sisi usia, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang valid.
Jika ada orang yang panjang usianya, sehingga banyak karya dan kebaikannya, maka inilah kebaikan di atas kebaikan. Dan apabila ada orang yang panjang usianya tetapi panjang juga daftar keburukannya, maka itulah kejelekan yang berlipat ganda.
Nabi s.a.w. bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ
”Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya serta baik amalnya. Dan seburuk-buruk manusia adalah yang panjang umurnya namun buruk amalnya.” [Riwayat at-Tirmidzi IV/556/2330 dan lain-lain, dengan sanad yang valid.]

No comments:

Post a Comment