Dalam mengarungi roda kehidupan yang dinamis, penuh ketidakpastian dan kesulitan, manusia sebagai makhluk yang lemah dan penuh kekurangan membutuhkan sandaran kepada Dzat yang Maha Sempurna, Maha Kuasa, Maha Kuat dan Maha Hadir (omnipresent). Bagi seorang Muslim, penyandaran diri tersebut hanya ditujukan kepada Allah Ta`ālā melalui mekanisme yang disebut tawakkal.
Secara etimologis, tawakkal berasal dari huruf w k l yang berasosiasi dengan penyandaran atau pelimpahan suatu urusan kepada pihak lain. Secara terminologis, makna tawakkal adalah penyandaran diri sepenuhnya kepada Allah Ta`ālā dalam hal pencapaian maslahat dan/atau penolakan mudharat terkait urusan dunia maupun akhirat. Al-Jurjāni, seorang linguis, berpendapat bahwa tawakkal adalah kepercayaan penuh (tsiqah) dengan apa yang ada di sisi Allah dan berputus asa terhadap apa yang ada di tangan-tangan manusia. [Lihat Mausū`ah Nadhrah an-Na`īm, vol. IV, hlm. 1377.]
Tawakkal merupakan kebutuhan para hamba-Nya sekaligus perintah-Nya. Allah Ta`ālā berfirman,
وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً
“Dan bertawakkallah kalian kepada Allah, dan cukuplah Allah sebagai Sang Wakil.” [QS. Al-Ahzāb (33): 3.]
Salah satu al-asmā’ al-husnā (nama-nama indah) yang dimiliki Allah Ta`ālā adalah al-Wakīl (Sang Wakil), sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, yaitu Dzat yang berhak untuk disandarkan dan dilimpahkan segala urusan, karena Dialah yang menguasai segalanya.
Tawakkal merupakan kunci rizki sekaligus solusi dari berbagai problematika. Dari `Umar ibn al-Khaththāb r.a., Nabi s.a.w. bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خماَصًا وَتَرُوْحُ بطَاناً
“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” [Riwayat at-Tirmidzi IV/573/2344, Ibn Mājah II/1394/4164, Ahmad I/30/205 dan lain-lain.]
Allah Ta`ālā berfirman,
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupi (keperluan)nya.” [QS. Ath-Thalāq (65): 3.]
Karena itu, doa yang sering dibaca Nabi s.a.w. khususnya pada saat mengalami kesulitan serta dibaca oleh Nabi Ibrāhīm a.s. ketika dilemparkan ke dalam kobaran api adalah: “Hasbunā’Llāhu wa ni`ma’l wakīl” (cukuplah Allah bagi kami dan Dialah sebaik-baik wakil). [Riwayat al-Bukhari ]
Merealisasikan tawakkal bukan berarti menihilkan usaha. Tawakkal adalah amalan qalbu yang menyokong upaya lahiriah anggota badan. Imam Ahmad berkata, “Dalam hadits di atas tidak ada indikasi pembolehan untuk meninggalkan usaha. Sebaliknya, justru padanya terdapat isyarat tentang perlunya mencari rizki. Jadi, maksud hadits tersebut, sekiranya mereka bertawakkal kepada Allah dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di Tangan-Nya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana halnya burung-burung.” [Tuhfah al-Ahwadzi, vol. VII, hlm. 8.]
Dari Anas ibn Mālik r.a., beliau menceritakan bahwa seseorang pernah bertanya kepada Nabi s.a.w., “Ya Rasulullah, apakah aku mengikat hewan tungganganku dan aku bertawakkal, ataukah aku lepaskan saja dan aku bertawakkal?” Nabi s.a.w. berjawab,
اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
“Ikatlah hewan tungganganmu dan bertawakkallah.” [Riwayat at-Tirmidzi IV/668/2517 dan di-hasan-kan oleh al-Albāni dalam Shahīh al-Jāmi` no. 1068.]
No comments:
Post a Comment